Selamat Membaca
***
SAMIRA adalah definisi orang yang tidak tau malu. Setelah Khia menceritakan bagaimana kelakuan Samira semalam, gadis itu justru tertawa dan menganggap itu sebagai candaan. Berbeda dengan Khia yang ingin rasanya membunuh Samira saat itu juga.
Selain itu, Samira juga mengatakan bahwa ucapannya tersebut adalah serius dan 100% ia rencanakan. Hanya saja ia lakukan dalam keadaan mabuk. Samira juga mengatakan bahwa sebenarnya ia ingin mencelakai Awang dengan cara memberi gadis itu makanan yang sudah ia campur dengan zat berbahaya, tetapi rencananya terpaksa gagal karena ia justru berada di bawah pengaruh alkohol.
“Mau ke mana lo?”
“Kantor kak Will.” jawab Samira santai dan beranjak keluar dari kamar. Gadis itu benar-benar pergi ke kantor William.
Ini adalah kali kedua ia datang ke tempat ini, sehingga memudahkan Samira untuk menemukan letak William kerap berdiam diri. Dengan lancang, Samira masuk ke ruangan William yang ternyata sepi sunyi tak berpenghuni.
“Rapat kali.” Samira berjalan ke arah meja dan membuka laptop yang terdapat di meja. Sebentar saja karena Samira ingin melihat lebih banyak hal di ruangan tersebut.
Ketika Samira membuka laci, ia menemukan satu benda yang membuat sudut bibir Samira terangkat membentuk senyum. Sebuah kayu yang membentuk wajah William terdapat di dalam laci tersebut. “Gak mirip sih. Namanya juga usaha.” komentar Samira dengan karyanya itu.
Samira lanjut memperhatikan beberapa gambar yang tersemat di ruangan tersebut. Lebih banyak lukisan dan hanya beberapa foto. Foto keluarga, foto William bersama Galang, dan William bersama Awang. Melihat foto yang satu itu membuat tangan Samira tak bisa diam. Gatal ingin melakukan sesuatu.
Dicarinya sebuah pulpen, kemudian ia mengeluarkan foto tersebut dan mencoret-coret wajah Awang. Dimasukkan kembali dan ia balik ke arah berlawanan.
“Perfect.”
“Ngapain lo di sini?” itu suara William. Suara yang Samira rindukan seminggu terakhir.
“Gak ada sih. Pengen aja.” Samira perlahan meletakkan pulpen di tangannya agar tak terlihat oleh William. Meskipun Samira tahu betul seteliti apa William dengan tindakan seseorang.
“Keluar.”
“Gak mau. Gimana dong.” Samira bercermin dan melihat lukanya yang tampak membengkak. Sial. “Awang lo itu gak amnesia kan?”
“Bukan urusan lo.”
“Sayang bangat rencana gue gak berjalan lancar, yah.” Samira tersenyum sambil berjalan menuju meja dan menatap William yang duduk dengan memperhatikan Samira. Wajah pemuda itu tampak tak senang.
“What do you want?”
“You.” jawab Samira cepat. “Dan sekarang gue sedang berusaha.”
“Gak perlu.”
“Why? Author gue udah rencanain ini kok. Kita akan nikah, punya anak, and happy ever after.”
“Bermimpilah bersama authormu.”
“Kok kak Will gitu. Gak percaya, yah?” Samira menatap William yang acuh tak acuh. “Coba deh lain kali kak Will cari tau. You'll be surprise.”
“What you mean?”
“Just drop it.” Samira tersebut.
Jiwa licik Samira semakin hari semakin berkembang. Sudut matanya menangkap seseorang di luar ruangan William membuat langkah Samira terangkat mendekat ke arah William. Memutar kursi pemuda itu dan tersenyum menatapnya. “Mata aku sakit tau.”