Selamat membaca
Malam menunjukkan pukul 23.57 saat William tiba di rumah, setelah kelahiran putra pertamanya, William kembali sibuk di kantor untuk melunasi pekerjaannya yang bolong selama masa kehamilan Samira.
Sempat ia menghampiri Samira dan putranya di dalam kama yang kini sudah terlelap, sebelum ia memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum sempat ia selesaikan, ia ingin menyelesaikan semuanya agar besok ia memiliki lebih banyak waktu untuk anak dan istri(?) nya.
Sekitar satu jam lamanya, William menyelesaikan pekerjaan, lebih cepat dari yang ia duga.
Baru hendak beranjak, tangan William tiba-tiba berinisiatif sendiri melihat rekaman CCTV yang ada di rumahnya. Ia ingin melihat kegiatan Samira selama ia tak ada di rumah, terlebih selama hampir sebulan setelah melahirkan, William tak ada banyak waktu untuk keluarga kecilnya itu.
Beberapa rekaman terlewatkan dan hampir semua isi rekamannya sama, sampai akhirnya William iseng membuka rekaman hari ini, di situlah kejanggalan dimulai. Dari rekaman tersebut, terlihat Samira yang pergi keluar rumah pada pukul 25.47 dan kembali setelah hampir dua jam lamanya.
FYI, William telah menyewa dua baby sitter, dan juga ada beberapa maid yang siap sedia membantu Samira saat kesulitan, yang menjadi masalahnya adalah Samira pergi dari rumah tanpa pamit kepadanya. Itu adalah kesalahan besar.
Berusaha meredam emosi, William memutuskan untuk menghampiri Samira yang kini telah tertidur. Tanpa pikir panjang, William langsung membangunkan Samira dan mengisyaratkan untuk diam agar tidak mengganggu tidur sang anak.
Samira yang masih setengah sadar menurut saja dan mengikuti langkah William yang menyeretnya ke arah balkon. Setelah menatap wajah William, Samira tahu ada yang membuat makhluk ini bad mood.
“Jelasin. Lo pasti nyembunyiin sesuatu dari gue.”
Yah, betul. William sedang dalam suasana hati yang buruk, buktinya ia menggunakan lo-gue dalam kalimatnya, seingat Samira kata itu tak pernah lagi terdengar sejak Samira masih hamil dulu, entah sejak kapan itu.
“Kak, aku capek banget hari ini, kalau ada hal yang buat kamu gak nyaman, langsung ngomong aja, aku gak—,”
“Maksud lo apa keluar rumah tanpa izin ke gue? Udah mulai berani lo nentang gue lagi? Gue cuma minta lo kabarin gue setiap lo pergi, apa susahnya sih?”
Deg!
Mata Samira membulat, tangannya bergetar, seketika mulutnya kaku untuk berbicara.
“Ra, kali ini gak usah ngeles, gue udah liat CCTV, tadi lo keluar rumah selama hampir 2 jam dan lo gak ngabarin gue. Gimana kalau lo kenapa-napa? Terakhir kali keluar rumah, lo hampir ditabrak mobil dan saat itu posisi lo lagi hamil anak gue, harusnya lo sadar kalau di luar sana ada bahaya yang nungguin lo, dengan sengaja.” William sengaja menekan kata ‘dengan sengaja’ agar Samira tahu mengapa William sangat marah kali ini.
“Maaf,”
“Ra, ini bukan masalah maaf lo, tapi penjelasan apa yang bisa lo kasih biar gue tenang. Lo tuh gak pernah berubah dari dulu, susah dibilangi. Lo pernah mikir gak sih gimana gue kerja di kantor sampai tengah malam dan harus ngurusin lo yang keluar di luar?” William menghentikan ucapannya saat menyadari bahwa Samira kini menunduk dan sedang menangis.
Merasa kesal sendiri, William memilih melampiaskan kemarahannya dengan meninju dinding tembok, sangat keras hingga membuat buku-buku tangannya mengeluarkan darah segar.
“ARGGG!” William lemah jika menyangkut Samira. Ia tak bisa melihat Samira menangis seperti ini, tetapi tak bisa juga membiarkan Samira yang selalu seperti anak-anak, susah diatur.
Merasa belum puas, William kembali meninju dinding tak kalah keras, kini kedua tangannya telah mendapatkan luka yang sama. Namun, hatinya belum merasa puas, ia terus melayangkan tinjunya, meluapkan segala emosi, sampai akhirnya ia merasakan sebuah tangan yang melingkar di perutnya. Samira memeluk William dari belakang.
William berhenti. Napasnya terburu, dadanya naik turun, dan kepalan tangannya masih keras di bawah sana. Dengan gerakan kecil, William melepaskan tangan Samira yang melingkar di perutnya. Lantas ia pergi meninggalkan wanita itu.
William memilih untuk membersihkan diri di kamar mandi sekaligus meredam emosinya.
***
Entah berapa lama William di kamar mandi, tetapi setelah keluar ia mendapati Samira sedang menggendong Hosea, putra pertama mereka, anak itu sedang menangis membuat Samira harus berjalan ke sana kemari untuk menenangkan sang bayi. Lama tak ada respons, Samira pinda ke atas tempat tidur dan menyusui anak itu. Tak ada lagi suara tangisan bayi setelahnya.
Sial! William iri dengan anak sendiri.
Melangkah perlahan, William duduk di samping Samira dan langsung menyandarkan kepalanya di atas pundak Samira, satu tangannya memeluk Samira dari samping.
“Ra,” panggil William pelan. “Maaf,”
“Nanti, yah, setelah Hosea tidur.” Ucap Samira lembut dan sedikit berisik. Takut jika bayi kecil ini kembali reog.
William tak protes, tetapi tak juga melepaskan diri dari Samira, tangannya justru semakin memeluk erat tubuh Samira, sesekali ia mencium pundak dan leher Samira yang tak tertutup kain.
Dengan kesabaran setipis tissue, William mencoba bertahan sampai Samira meletakkan kembali sang bayi ke dalam box bayi yang tersedia tak jauh dari tempat tidur mereka. Melihat Samira kembali ke arahnya, William dengan semangat merentangkan tangan, ia belum mendapatkan pelukan dari Samira hari ini.
“Pake celana, Kak.” Saran Samira, William menggeleng, menolak perintah Samira. Beginilah kebiasaan William, selama Samira tak memaksa memakai celana, maka William akan naked di samping Samira sepanjang malam.
“Kalau gitu langsung tidur aja, yah. Kamu pasti capek seharian kerja.”
“Satu ronde aja, yah. Aku gak capek kalau yang itu.”
“Enggak. Ini udah tengah malam.”
“Ayolah, Ra. Bentar aja, lagian besok libur. Kamu bisa bangun kesiangan.” Bujuk William.
“Tapi Hosea gak pernah kesiangan, Kak.”
“Ih, kamu mah gitu. Kamu udah gak sayang yah sama aku?” William menelisik kepada Samira. “Semenjak Hosea lahir, kamu lebih perhatian ke dia ketimbang sama aku. Dia itu, cuma anak kemarin sore yang tiba-tiba datang ke tengah-tengah kota, Ra—,”
“Udah, dia itu anak kamu. Gak usah childish, kamu udah tua.” Samira melepaskan tangan William yang melingkar di perutnya, ia mengambil posisi tidur di atas ranjang, meninggal William yang sedang overthinking.
Tak lama, Samira merasakan pergerakan di sampingnya, diikuti tangan yang memeluknya dari belakang. Hembusan napas William juga terasa sangat nyata menerpa punggung leher Samira, sesekali kecupan ia dapatkan dari sana.
“Ra?” Panggil William pelan, “Maaf. Hari ini aku udah kasar sama kamu. Aku cuma takut kamu kenapa-kenapa, di luar sana gak aman buat kamu. Jangan bikin aku khawatir lagi, Ra. Aku gak akan bisa maafin diri aku sendiri kalau kamu kenapa-kenapa.”
“Iya, maaf. Aku gak akan keluar rumah lagi tanpa izin kamu.” Ujar Samira dengan nada menyesal.
“Madep sini.” Samira menurut, ia berbalik badan agar bisa menghadap ke William. “Jujur sama aku, kamu pergi ke mana tadi?”
“Hah? Anu—itu...”
“Ra, gak usah bohong, kamu tau kalau aku selalu bisa menemukan sesuatu yang kamu sembunyiin, cepat atau lambat.”
“Aku keluar untuk... Beli... Cemilan. Soalnya cemilan di rumah habis.” Mendengar penuturan Samira, William tertawa, untung saja tidak membangunkan Hosea.
“Ra, aku bukan anak kecil. Stok cemilan di rumah gak pernah habis. Baru juga kemarin Mbak Marry keluar untuk belanja.” Tutur William, “Jujur aja, Ra, aku butuh pengakuan kamu. Selebihnya aku akan cari tau sendiri.”
“Kamu gak marah, kan?”
“Tergantung jawaban kamu, kalau kamu keluar ketemuan sama cowok lain, yah jelas aku marah.”
“Tuh, kan. Kamu marah nanti.”
“Jawab aja, Ra. Besok juga aku udah tau.”
“Aku keluar untuk ketemu Awang.”
Satu nama itu berhasil membuat jantung William hampir berhenti berdetak. Kenapa harus ada nama itu disela-sela pembicaraan ini. Apa lagi yang iblis itu lakukan kepada Samira?
Sial! William tak bisa berpikir jernih sekarang.***
Masih ada lanjutannya ges. Wkwkw