36

7K 214 4
                                    

Selamat Membaca


Tiga Puluh Enam

William beberapa kali meminta maaf pada orang tua Samira, dan sebanyak itu juga mereka memaafkan William. Tetap saja, William selalu merasa bersalah. Orang tua Samira selalu baik, sangat baik justru. Hal itulah yang membuat William semakin merasa bersalah.

Kini, William mengerti mengapa Samira begitu terpuruk, sejak pagi gadis itu hanya terdiam, sesekali William melihat butiran air mata mengalir dari balik pelupuk matanya. Jangankan Samira, William saja rasanya kecewa dengan diri sendiri setelah melihat ketulusan Reno dan Zuya.

Berbeda dengan Wan, pria itu tak lagi pernah menampakkan diri di rumah sakit setelah bertemu dan meminta maaf langsung kepada orang tua Samira. William cukup mengerti perasaan Wan sekarang, kekecewaan yang dirasakan Wan pasti sangat besar.

Di sisi lain, ada Saga yang tampak begitu marah pada William. Tidak perlu heran, pemuda itu sangat menyayangi Samira. Mungkin, kasih sayang Saga untuk Samira lebih besar daripada rasa sayang William kepada Samira. Selama berteman dengan Saga, William tak pernah melihat Saga marah tanpa alasan kepada Samira.

Pagi tadi, William sempat melihat Saga meneteskan air mata saat memperhatikan sang adik. Hal tersebut membuat William semakin tertampar saat mengingat perlakuan kasar yang ia lakukan pada Samira.

Samira yang selalu diratukan oleh keluarnya telah ia perbudak atas dasar keegoisan.

“William,” panggil Reno pada William. “Bisa berbicara sebentar?” William mengangguk kemudian berdiri dari duduknya.

Perlahan, ia melepaskan genggaman tangannya pada Samira dan mengikuti langkah Reno untuk keluar.

Reno membawa William ke taman rumah sakit. Entah apa yang akan Reno bicarakan, rasanya William sungguh canggung sekarang. Tubuhnya kaku, begitupun dengan mulutnya.

“Apa rencana kamu?” tanya Reno to the point. “Biar saya perjelas, Samira adalah anak perempuan saya, saya jelas tidak ingin melihat dia menderita terlalu lama. Saya juga telah berbicara dengan papa kamu, kami sepakat untuk tidak ikut campur dengan keputusan kamu, selama Samira bisa menerima itu.”

“Jika, diberi izin, saya akan menikahi Samira.”

“Bagaiman jika Samira menolak?” Tanya Reno terdengar santai tetapi menohok secara makna.

“Saya akan berusaha agar Samira bisa menerima saya dan membiarkan saya bertanggung jawab atas perbuatan saya.”

Reno terkekeh. “Kenapa kamu terlalu tegang, saya tidak akan marah.” Sambil menepuk punggung William. “Saya harap, ucapan kamu bisa dipercaya. Saya akan mengizinkan kamu meyakinkan Samira, tetapi tidak dengan memaksanya. Wan bilang, kamu gemar memaksa.”

“Maafkan saya, pak.”

Reno kembali terkekeh. “Jangan terlalu serius, itu hanya candaan.”

“Anjing!” bersamaan dengan itu, Saga muncul dan langsung menghantam wajah William. “Bangsat lo, Will!”

Bugh!

Bugh!

“Huffh—,” Reno menghela napas berat. Dengan seluruh tenaga, Reno memisahkan Saga menjauhi William. “Tenang! Apakah semua masalah harus kamu selesaikan dengan otot?”

“Daddy disuap apa sama dia sampai-sampai Daddy lebih membela dia daripad—,”

PLAK!

Untuk pertama kalinya Reno menampar Saga begitu keras. Wajah Saga sampai memerah karenanya.

Pemuda itu berlutut di hadapan Reno sambil menunduk. Rasanya, Saga tak hanya ditampar oleh tangan Reno, tetapi ada hal yang membuat Saga teringat akan sesuatu.

Saga teringat akan adiknya yang telah tiada, persis seperti sore ini, saat langit sedang berwarna jingga.

“Kalau kamu benar sayang dengan Samira, tentunya kamu tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Kekerasan hanya akan membuat kehilangan, harusnya kamu tau itu.”

“Daddy sendiri yang nyuruh aku untuk lindungi Samira, tapi aku gagal.”

“Bukan kamu yang gagal, tapi kita semua.” Reno berjongkok menatap sang putra. “Tidak seharusnya kamu menayangi Samira seperti ini, Saga.”

Saga menatap Reno dengan tatapan heran. Ekspresi kagetnya tercetak jelas mendengar ucapan tersebut.

“Perbaiki sikapmu sebelum Mommy mu semakin marah. Dia sedih melihat adikmu lalu kamu harus membuat bertambah sedih. Setidaknya jangan membuat onar selama di rumah sakit.”

***

Samira duduk mematung menghadap jendela. Pikirannya menjelajah ke mana-mana meninggalkan jiwanya.

Samira mulai berpikir mengenai nasibnya esok hari, beban pikirannya yang semula ia lepaskan kini kembali ia pikul. Samira tak dapat berbohong bahwa ia begitu mencintai William, Samira telah memaafkan pemuda itu, tetapi hati kecilnya tetap merasa kecewa, terlebih karena ketakutannya sejak tiga bulan lalu, kini telah tiba.

Melihat William seharian ini membuat Samira merasa sedih. Segala macam perasaan sedih menggentayangi pikiran Samira. Samira sedih melihat William yang harus mendapatkan omelan Wan juga pukulan, lalu datanglah Saga yang juga melakukan hal yang sama. Samira sedih melihat persahabatan Saga dan William hancur karenanya. Samira sedih karena harus terlibat masalah menjijikkan seperti ini dengan William.

Namun, Samira berterima kasih kepada Tuhan karena William masih bertahan di sisinya. Samira sempat berpikir bahwa kemarahan William malam itu tanda bawa William tak setuju dengan kehamilan Samira atau tidak ingin mengakui buah hatinya. Samira selalu takut William tidak menginginkan bayi ini dan berniat menggugurkannya.

“Samira,” Samira menoleh pada sumber suara.

Di sana, Saga berdiri menatap Samira dengan tatapan sayu. Samira tahu bahwa suasana hati Saga sedang buruk.

Samira tersenyum tipis.

“Gue minta maaf, gue gagal jagain lo.” Ujar sambil duduk di samping Samira. “Gue pikir, dengan biarin lo sama William akan mengubah keadaan kita dan William akan jaga lo seperti yang gue mau. Ternyata gue salah,” Saga menatap luasnya jalan raya di bawah sana dengan segala pikiran yang berperang dalam otaknya.

“Keadaan lo mungkin berubah, tapi gue gak, Ra. Gue selalu sama. Rencana kita tidak sepenuhnya berhasil, gue masih sama. Gue minta maaf gak bisa jadi Abang lo sepenuhnya.”

“Daddy tau soal ini?” Saga menatap Samira dengan tatapan bingung. “Maksud aku, tentang rencana yang kita buat untuk aku tinggal sama kak Will.”

“Gue udah ngomong sama Daddy. Awalnya Daddy marah, tapi Daddy tidak ambil pusing karena memang kalian bakalan dijodohkan. Daddy anggap itu sebagai bantuan gue.”

Samira menatap Saga yang menjelaskan. Namun, pemuda itu berhenti tanpa berniat melanjutkan.

“Abang setuju kalau aku dijodohkan sama kak Will?” Tanya Samira hati-hati.

***

Segini aja dulu, yah. Saya masih memikirkan kelanjutan, anggap saja ini adalah sapaan setelah part terakhir di keluarkan.

Semoga kalian tambah bingung dengan jalan cerita ini agar saya tidak sendiri.

Bagaimana menurut kalian tentang cerita ini?

[Emote love]

230522

Comfortable Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang