50

13.4K 189 17
                                    

Selamat Membaca












“Awang hamil.” Ujar Samira. “Dan dia minta bantuan aku.”

“Ra? Lo tau Awang gak sih? Dia bisa aja sengaja bilang gitu untuk jebak kamu, bisa aja selama ini dia yang berusaha celakai kamu. Dulu dia nekat lakuin itu, dia pernah dorong kamu ke jalan raya, dia—,”

“Kak,” potong Samira. “ Mau bagaimana pun, Awang itu tetap teman kamu. Sekarang dia gak punya siapa-siapa, orang tuanya udah meninggal, tantenya ngusir dia dari rumah, teman-temannya musuhin dia, setelah kejadian di kantor kamu waktu itu, video dia lagi berhubungan intim sama Keenan tersebar, tapi muka Keenan diblur. Aku tau dulu dia jahat sama aku, tapi sekarang dia menderita dan aku mau bantu dia.”

“ Wait, dari mana kamu tau semua informasi itu. Dia masih punya Ibu, dia bohong.”

“Sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu karena sering pergi tanpa sepengetahuan kamu, tapi minggu lalu aku pergi ke rumah Awang, ibunya meninggal korban tabrak lari.”

“Ra, kenapa kamu suka bangat bikin orang panik?” Kesal William.

“Bantu Awang, Kak. Dia benaran butuh bantuan.”

“Big no. Kalaupun kamu mau bantu, kamu gak seharusnya ketemu langsung sama dia. Kamu bisa suruh Adam, biar dia yang urus kebutuhan atau apapun yang diperlukan oleh Awang. Bukan kamu.” William bersikukuh untuk mengabaikan Awang dari kehidupan mereka.

“Kak,”

“Okay, aku akan bantu Awang, besok aku akan minta Adam untuk cari tau semuanya, tapi kamu harus janji untuk gak temui Awang lagi, sekalipun Awang diambang kematian.”

“Ih kok gitu,”

“Atau kamu gak akan keluar lagi dari rumah ini selain sama aku.”

“Okay, fine. Aku gak akan ketemu lagi sama Awang, tapi kamu harus janji untuk bantu dia.”

“Kenapa tiba-tiba kamu peduli sama Awang?” Tanya William penasaran.

“Dia ngasih tau aku tentang orang yang pengen celakai aku waktu itu.”

William terduduk. William pikir setelah menyeret Samira dalam hidupnya, Samira akan lebih jinak, ternyata sebaliknya. Wanita ini selalu saja menutupi hal penting darinya.

“Keenan minta seseorang untuk menabrak aku saat itu.”

“Keenan? Ngapain dia lakuin itu?”

“Harusnya kamu yang lebih tau masalah ini. Kamu ada masalah apa sama Keenan? Itu yang jadi alasannya.”

William memijat pangkal hidungnya, kepalanya tiba-tiba pusing mendengarkan semua penuturan Samira.

“Kak,”

“Udah, gak usah dibahas lagi. Kamu mending tidur, biar aku yang urus semuanya.” William kembali berbaring di samping Samira. “Setelah ini, jangan lagi kamu sembunyiin sesuatu dari aku, aku gak suka.” William to the point.

Samira mengangguk saja. Tak ingin membesarkan masalah.

“Ra,” Samira merasakan tangan William membelai pipinya dalam penerangan samar. “Aku tuh sayang bangat sama kamu, aku gak mau kamu kenapa-kenapa. Jangan bikin aku panik terus.” Nada William lebih lembut dari sebelumnya. Mungkin mulai luluh.

“Iya, maaf.”

Setelah mendengar kata maaf keluar dari mulut Samira, William langsung berubah mode ke manja. Ia masuk ke dalam pelukan Samira, mengecup singkat bibir gadis itu, dan menenggelamkan wajahnya di dada Samira.

“Kak,” tegur Samira saat merasakan pergerakan tangan William yang sudah menggerayangi tubuh Samira.

“Kamu tidur aja, aku cuma mau ambil hak aku yang selama sebulan ini diambil alih oleh Hosea.”
“Jangan digigit!” Peringat Samira sebelum ia berlabuh ke alam mimpi.

***


Satu minggu berlalu, hari ini William memutuskan untuk memberikan semua waktu dan pusat perhatiannya pada Samira, hanya pada Samira karena selama ini Hosea telah merebut Samira dari William, hari ini William akan menyingkirkan Hosea dari jangkauan Samira.

“Anak aku mana?” Tanya Samira pada William yang sedang bermain game di atas tempat tidur.

“Gak tau.” Jawab William singkat.

“Anak aku mana, Kak?” Samira merebut ponsel William membuat pemuda itu langsung merenggut karena nyawanya sisa sedikit saat dikepung musuh. Sudahlah, wanita seperti Samira mana paham tentang itu.

“Kamar kenapa dikunci?” Melihat Samira yang kini hanya mengenakan handuk ditubuhnya membuat William berpikir untuk mengganti rencana.

“Aku minta Adam untuk kunci pintu dari luar dan jangan dibuka kecuali ada gempa, tsunami, topan, badai, banjir, kebakaran, atau bencana alam lainnya. Dan anak itu udah dibawa ke sama Mbak Merry.” Tiba-tiba mood William hilang saat menyebut anak Samira itu. Cihh, masih kecil sudah berani memegang buah kesayangan William. Tidakkah anak kecil itu tahu bahwa William bersusah paya untuk bisa mengambil kembali miliknya itu?

“Kak, gak lucu, yah. Gimana kalau Hosea kenapa-kenapa? Aku mau ketemu Hosea sekarang juga.”

“Gak bisa. Kamu harus di sini sama aku sampai sore, kalau perlu sampai besok, sampai minggu depan juga gak apa-apa.” Kukuh William.

“Mau ngapain?” Selidik Samira saat melihat William turun dari atas tempat tidur. Kenapa harus telanjang lagi, sih?

“Hari ini, kamu gak bisa ke mana-mana. Kamu punyaku.” Samira menghembuskan napas berat. Ia tahu bahwa William sangat menginginkan itu, hanya saja William itu mainnya terlalu bar-bar, lama, membuat Samira kelelahan, hampir mati, seperti dicekik sepanjang waktu, dan William akan terus meminta sampai pemuda itu sendiri yang lelah.

Tangan William membelai pipi Samira, turun ke leher, dan dalam sekejap saja, William menarik tengkuk Samira untuk mencium wanitanya dengan perasaan rindu. Seperti telah dipisahkan selama ribuan tahun.

Samira mendorong dada William saat merasa kehabisan napas.

“Aku gak bisa napas.” William tak peduli, ia kembali menarik tengkuk Samira, lalu membawa gadis itu dalam gendongannya. William membawa Samira ke atas ranjang.

Dalam sekali sibakan, William membuang kasar handuk Samira. Benda sialan itu berani sekali menyembunyikan tubuh cantik ini. Oh ayolah, William sudah lama tak merasakan desir tubuh ini.

“Ra?” panggil William sebelum kembali mengecup bibir Samira. “Makasih udah hadir di hidup aku.” Dalam-dalam William mencium bibir Samira, seolah menyalurkan semua rasa yang tersimpan dalam diri William selama ini.

Yah begitulah mereka akhirnya ‘berhubungan’ lagi setelah beberapa bulan mamanya.

***


Rencana William untuk menahan Samira sampai sore ternyata tidak berjalan mulus karena kedatangan Wan dan Anna di rumah ini. Rasanya William ingin meluncurkan rudal ke bumi saat Adam tiba-tiba mengetok pintu kamar dan memberikan kabar bahwa Wan dan Anna hendak memasuki rumah.

Sial! Untung saja saat itu mereka telah menyelesaikan pertempuran sengit itu. Buru-buru William mandi dan segera menemui kedua orang tuanya.

“Samira mana? Kok cucu mama gak di urus gini?” Tuding Anna. Bukannya menyalahkan Samira, tetapi ia curiga pada putranya sendiri. “Kamu apakan Samira?”

“Yah mau diapakan lagi, kalau gak di—,”

“Kamu tuh punya otak gak sih? Samira baru aja lahiran, dia masih muda dan harus mengurus anaknya, kamu harusnya gak tambah beban ke Samira. Sekarang mama tanya, kamu pernah gak mikir gimana jadi Samira yang harus ngurus dua bocah sekaligus?” William tahu maksud Anna yang menyindirnya bocah, tetapi William benar-benar hanya ingin berduaan bersama Samira, tidak lebih.

“Dengan kamu meminta hal-hal untuk memenuhi hasrat kamu, itu membuat Samira tertekan, kamu mau Samira ninggalin kamu karena capek dengan sikap kamu itu?” William menggeleng cepat. Enak saja, William hampir gila untuk mendapatkan Samira kembali, bagaimana mungkin William membiarkan Samira pergi.

“Makanya, kamu jangan bikin Samira kecapekan sendiri. Paham kamu? ”

“Iya, Ma.”

“Awas saja jika mama dengar kabar kalau Samira sakit kecapekan. Jangan harap kamu bisa ketemu sama Samira sampai dia benar-benar sembuh. Kalau perlu gak usah ketemuan selama setahun.”

“Iya,” jawab William ogah-ogahan. Mana mungkin Anna berani memisahkan William dan Samira. Kalaupun itu terjadi, William akan melakukan segala cara untuk bisa bersama Samira.

“Saya yang akan memisahkan mereka jika itu terjadi.” William langsung menoleh kaget ke arah Wan, tidak lucu jika pria itu yang angkat suara.

“Panik gak tuh,” ejek Galang yang juga ada di sana. Ia duduk bersama Adam di bawah karpet.

“Gak akan, kok, Pa. Sumpah,”

“Papa pegang ucapan kamu.”

“Iya, Pa.”

Tawa Adam dan Galang terdengar menggema di antara mereka. Senang sekali melihat penderitaan William.

Tak lama dari itu, Samira muncul dari lantai atas dengan muka bantalnya. Gadis itu seperti telah mandi, tetapi wajahnya tampak kelelahan. Yah jelas saja, William tak pernah bermain lembut jika sudah menyangkut tubuh Samira. Rasanya menggila saja, seperti orang mabuk, William tak pernah bisa menahan diri jika sedang bersama Samira.

“Kok kamu ke sini? Kenapa gak istirahat aja?”

“Aku mau ketemu Hosea.”

“Harus bangat ketemu sama dia? Kan tadi pagi juga udah, Ra. Aduh!” William mengaduh kesakitan saat Galang menumpuk kepalanya dengan bantal sofa.

“Anak sendiri aja dicemburi. Lo udah dewasa, Will. Mikir dikit lah.”

***

TBC

Lanjut gak nih?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 03, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Comfortable Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang