Selamat Membaca
Tiga Puluh Tujuh
Tujuh tahun lalu. William terus mengingat hari itu. Seharusnya hari itu tidak menjadi urusan William, sebab memang William tidak terlibat barang sedikit pun dalam masalah itu. Namun, setelah bertahun-tahun lamanya, William justru menjadi orang paling dihantui akan satu fakta hasil mengupingnya tahun itu.
Rasanya, William menyesal melakukan hal tersebut.
William mengangkat pandangannya, menatap Samira yang terbaring di atas brankar, gadis itu sudah terlelap. Ada kaca yang menjadi penghalang antara ruangan tempat Samira dan dirinya berdiri. Dinding kaca yang membuat William semakin tenggelam dalam kejadian tujuh tahun lalu.
Sore itu, William berada di salah satu sekolah menengah pertama, ia baru selesai melakukan sosialisasi, saat Samira dan seorang gadis lainnya, yang memiliki paras yang sama dengannya, sedang berdebat di atas rooftop. Awalnya, William mencoba tidak peduli, toh itu urusan mereka dan William tidak mengetahui apa yang mereka bahas. William juga bukan tipe orang yang suka ikut campur dengan urusan orang lain.
William menyumbat telinganya dengan headphone untuk mengabaikan pertengkaran keduanya.
Tak lama kemudian, seseorang datang, dan William baru menyadari bahwa salah satu gadis itu telah hilang dari rooftop.
William melepaskan headphone dari telinganya, menatap lurus kepada dua orang yang sedang bercakap itu, hingga suara pemuda yang ada di depan Samira terdengar samar dalam pendengaran William.
“Apapun yang terjadi, jangan pernah bilang ke siapa-siapa tentang perasaan gue. Itu bukan salah lo.”
Mendengar itu, Samira histeris. Ia berteriak kencang, sambil menjauhkan diri, hingga akhirnya ia terjatuh pingsan.
William masih penasaran. Namun, kenyataan lain membuat William menepis rasa penasarannya, saat ia tahu bahwa gadis yang bersama Samira, tidak turun melalui tangga, tetapi melompat dari atas gedung.
“Will,” William menoleh dengan tatapan kaget. Lamunannya buyar, ia telah kembali dalam kesadarannya.
“Hah? Kenapa?”
“Lo dari pagi gak makan. Mending lo cari makan dulu di luar, masalah ini gak akan selesai kalau lo gak makan.” Omel Galang seperti emak-emak yang sedang memarahi anaknya.
“Mommy udah pulang?”
“Lagi tidur, katanya besok baru balik.” Jawab Galang. “Dam, beliin makan buat dia.”
“Gak usah, gue gak lapar.”
“Keras kepala. Udah beliin aja, jangan dengarin dia.” Ucap Galang pada Adam lagi.
“Gak usah,” itu bukan suara William, melainkan seorang wanita paruh baya yang hadir di antara mereka bertiga. “Mommy bawain makan untuk kalian, di makan, yah.” Zuya menyodorkan sekantong plastik yang lumayan besar kepada Adam. “Kamu jangan menyiksa tubuh kamu. Mommy tau perasaan kamu, tapi bukan berarti kamu harus seperti ini. Besok-besok juga Samira luluh, kok.” Zuya mengelus lengan William dengan kasih.
Hati William rasanya sedikit lebih tenang mendengar kalimat tersebut. Seperti ada rasa yakin dari Zuya yang mengalir juga kepada William. Setidaknya, William bisa memaksakan senyumnya sekarang.
“Thanks, Mom.” Zuya tersenyum menganggapi.
“Ya udah, kalau gitu, Mommy masuk dulu, yah.”
“Makasih makanannya, Mom.” Seru Galang membuat Zuya terkikik geli sebelum akhirnya masuk ke dalam ruang rawat Samira.