Selamat Membaca!
Dua Puluh Delapan
Hampir seminggu terbebas dari apartemen William, kini Samira kembali ke kesibukkannya sebagai mahasiswa. Ia masih tinggal bersama orang tua William karena belum ada satu pun anggota keluarganya yang kembali dari pekerjaan mereka. Namun, Samira tidak terlalu mempermasalahkan itu.
Dan tentang Samira, ada hal yang ingin ia selesaikan hari ini. Sedikit perkara yang terlewatkan oleh Samira dan baru ia ketahui dari Khia malam tadi. Samira juga baru menyadari bahwa Neko akhir-akhir ini sudah jarang menampakkan diri di depan Samira.
Sedikit mengecewakan karena Neko adalah pribadi riang yang selalu menebar keceriaan untuk orang lain. Dan malam tadi, Samira mendapatkan kabar bahwa pemuda itu beberapa kali terlibat dalam perkelahian, berteman dengan alkohol dan menjadi penghuni club malam, mengabaikan tugas kuliah, dan sering bolos.
Samira takut jika itu semua disebabkan oleh dirinya. Sejak hari itu, Neko tak lagi sering hadir bersama Samira, meski Samira membutuhkan teman sekalipun.
Ketika melihat Neko baru saja turun dari mobilnya, Samira dengan cepat menghampiri pemuda itu.
“Minggir, gue mau lewat.” ujarnya saat Samira baru saja tiba di hadapan Neko.
“Gue mau ngomong.”
“Gue sibuk.”
“Gue gak bermaksud nyakitin perasaan lo. I swear.” Samira tak ingin lagi berbasa-basi. “Kalau karena gue sikap lo berubah, gue minta maaf. Jangan siksa diri lo kayak gini.”
“Tau apa lo tentang gue?”
“Mungkin gue emang gak tau apa-apa tentang lo, tapi gue tau lo berubah karena gue. Lo gak mungkin cuek ke gue kalau tebakan gue salah.”
“Bagus kalau lo sadar.” Neko tersenyum kecut menatap Samira.
“Sorry, Ko. Tapi, lo gak boleh menyiksa tubuh lo sendiri karena semua itu.”
“Terus gue harus gimana, hah? Nangis, teriak-teriak, atau ketemu lo lagi untuk kerja tugas? Gue capek pura-pura menutupi rasa sakit di depan lo, tapi apa? Lo lebih milih cowok brengsek yang udah nyakitin lo, sedangkan gue yang mati-matian biar lo tetap senang hanya jadi pelampiasan.” hening sejenak. “Dan lo minta gue gak kayak gini? Lo pernah mikir jadi gue gak sih?”
Neko menunjuk kepala yang mengarah pada otak dan berkata, “Mikir, Ra. Mikir.”
“Ada cara lain, Ko. Gak harus—,”
“Apa caranya? Nyulik lo terus kawin lari?” potong Neko atas ucapan Samira. “Atau membunuh William sekaligus biar lo gak bisa lagi dekat sama dia?” Samira menggeleng kehabisan kata. Ia tak tahu harus mengatakan apa saat melihat jelas bagaimana keputusasaan melintas di mata pemuda itu.
“Gue sempat berharap dia mati dalam kecelakaannya, tapi ternyata belum.” Samira mengangkat pandangan pada Neko. Otaknya loading untuk mencerna ucapan barusan.
“Gue minta maaf.”
“Gue pikir lo beda dari keluarga lo yang lain, ternyata sama aja.” maki Neko lagi.
“Fuck!” pemuda itu menggeram frustrasi sambil mengacak rambutnya.
“Minggir, gue mau lewat.” sebelum benar-benar pergi, Neko menyempatkan untuk menatap Samira yang menunduk. “Jangan sok perhatian lagi sama gue, gak butuh.”
Samira menatap punggung Neko yang mulai memperluas jarak mereka. Samira tak habis pikir jika Neko akan berkata seperti itu pada Samira.
Samira akui, ia salah. Namun, Samira pun tak ingin semua ini terjadi. Samira memilki alasan untuk menerima jalan yang ambil sekarang, hanya saja Samira tak menyangka bahwa semua itu akan berdampak seperti ini pada Neko.