23

11.5K 306 4
                                    

Selamat Membaca!

***

Hari-hari yang telah lalu merupakan hari yang hambar bagi Samira.

Tak ada goresan krayon atau setitik tinta yang memberikan kesan hidup untuk Samira. Bukan artinya Samira ingin mati. Hanya saja, Samira merasa tak bersemangat.

Entah hari ini hitungan yang ke berapa Samira tak lagi memiliki kepercayaan diri tentang kehadiran William. Samira ragu bahwa ia masih memiliki kesanggupan untuk mengejar hati pemuda itu atau sekadar berharap, Samira masih kecewa. Dengan perlakuan William dan juga kebodohan dirinya.

Semua yang terjadi hanya membuat Samira semakin lemah. Penuh dengan rasa takut, bimbang, dan tak tahu harus melakukan apa.

Seperti dejavu, lagi-lagi Samira melihat Awang berdiri di depannya. Di tempat yang sama. Di halte depan kampus, saat Samira ingin menikmati waktu sendiri.

Bedanya dengan tempo hari, kali ini Awang mendekat dengan senyuman yang bisa Samira artikan. Senyuman penuh dendam. Saat itulah Samira tahu akan ada sesuatu yang terjadi setelah ini.

“Lo emang gak tau diri bangat yah?”

Mendengar Awang berbicara seperti itu, Samira bangkit berdiri berniat untuk pergi.

“Mau ke mana lo?”

“Gue gak niat cari masalah. Mending lo cari orang lain aja.”

“Lo gak sadar? Lo udah terlibat masalah sama gue, anjing!” Samira mengangkat alis. Ia tak mengerti.

“Kalau masalah di party Argob tempo hari, I’m so sorry.”

Awang tersenyum sinis.

“Lo emang goblok bangat yah. Lo udah merebut kebahagiaan gue. Merusak hubungan gue sama William. Dan lo dengan santainya ngomong gitu? Gak waras lo.” emosi Awang terlihat jelas di wajahnya.

“Gak terbalik?”

Awang tertawa sinis. “Gue sama William udah dekat dari SMA. Lo cuma anak kemarin sore yang datang ke kehidupan William yang kebetulan disukai sama keluarganya. Dan karena lo, orang tua William semakin gak suka sama gue.”

Samira sempat kaget mendengar tuturan Awang.

Apakah seperti itu yang terjadi antara mereka?

Setahu Samira, ia hanya—, yah mungkin itu memang benar. Ia datang merusak hubungan Awang dan William, Samira sadar itu karena egonya.

“Diam kan lo. Baru sadar?”

“Sorry kalau kenyataannya gitu, gue—,”

“Terlambat. Lo pikir orang tua William bakalan suka sama gue setelah lo minta maaf? William juga gak akan balik lagi ke gue karena maaf lo itu. Untuk apa lo minta maaf? Maaf lo gak guna.”

“Mau lo apa sekarang?”

“Gue mau liat lo menderita. Gue gak akan biarin lo bahagia sedikit pun.” Awang melipat tangan di dada, tersenyum menyeringai menatap Samira.

“Lo gila?”

“Kenapa? Takut? Kemana keberanian lo yang kemarin-kemarin itu? Ups, gue lupa kalau lo cuma mengandalkan orang-orang di sekitar lo. Aslinya, lo pengecut.”

Samira menutup matanya menahan emosi. Ia tak ingin meledakkan emosinya dan menyesal kemudian.

“Mungkin mulai sekarang lo harus hati-hati.” lagi-lagi gadis itu menyeringai, tetapi akhirnya pergi, meninggalkan Samira dengan sejuta tanya.

Yah meskipun secara teknis Samira telah mengenal nama William dari masa kecil dan kembali bertemu saat Samira SMP, tetapi Samira tidak tahu pasti hubungan William dengan Awang. Khia mengatakan bahwa hubungan William dan Awang tidak pasti, oleh karena itu Samira nekat mendekati William.

Comfortable Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang