Selamat Membaca!
Tiga Puluh Dua
Masih tentang Samira, kini ia telah berada di kampus. Awalnya, William melarang keras jika Samira pergi ke kampus sore ini, tetapi Samira dengan tegas mengatakan bahwa ia akan tetap mengikuti perkuliahan. Alhasil William membiarkan Samira ke kampus dengan diikuti oleh dua bodyguard William.
Samira sebenarnya malu jika dua orang berbadan besar dengan baju hitamnya itu terus mengikuti Samira ke mana-mana, tetapi Samira lebih memilih mengesampingkan perasaan malu ketimbang mengalami kembali kejadian semalam. Entah bagaimana nasib Awang sekarang, Samira harap gadis itu kapok mengancam Samira. Ada sedikit perasaan tidak tega jika mengingat gadis itu, tetapi Samira lebih berharap gadis itu mati, minimal dipenjara lah agar Samira tak melihatnya lagi.
“Masih kepikiran?” tanya Khia. “Udah, Ra, kak Will ada jagain lo kok. Kali ini gue dipihak kak Will. Dia udah minta maaf juga kan? Lo sendiri yang bilang kalau dia kayak nyesal bangat udah nyakitin lo. Jadi cewek itu gak boleh plin plan, apalagi lo udah dewasa sekarang, pikiran juga harus dewasa.” cerocos Khia panjang lebar di samping Samira.
“Lo gak tau inti permasalahannya, khia. Udah deh, gue juga udah berusaha maafin kak Will. Gue hanya kepikiran sama kejadian semalam aja—, iya, iya, gue tau kak Will bakalan jagain gue, lo gak usah motong. Masalahnya, gue kepikiran. Lo ngerti gak sih maksud gue? Gue gak mau pikirin, tapi otak gue isinya itu terus. Lo gak tau aja rasanya ditodong pistol tiba-tiba. Kalau kepala gue bocor gimana?” Samira menggebu-gebu menceritakan isi hatinya sekarang. Tak sadar jika beberapa pasang mata mulai menatap ke arahnya. Sedikit penasaran, tetapi takut menanyakan lebih.
“Santai aja dong, gue tau lo lagi ada masalah, tapi jangan pelototin gue kayak gitu juga.” sewot Khia. “look, he's coming.” kode Khia pada Samira. Mereka melupakan perdebatan yang tadi.
Samira berbalik dan mendapati sosok Neko yang masuk ke ruang kelas dengan wajah yang cukup mengenaskan. Entah terlibat perkelahian mana lagi pemuda itu.
Samira mengulum senyum kala tatapan mereka saling mendapati, tak ia sangka bahwa senyum tipisnya akan terbalas. Mungkinkah Neko telah memaafkan Samira?
Pemuda itu kemudian berjalan mendekati Samira. “Sir Devan hubungi gue, dia akan masuk telat hari ini. Lo bisa ikut gue sebentar?” Samira mengangguk mengiyakan tanpa pikir panjang.
Setelah berpamitan singkat dengan Khia, Samira mengikut langkah Neko yang mulai berjalan ke luar kelas. Mereka hanya akan berbincang di koridor yang menjadi penghubung pandangan antara gedung dan hamparan jalan raya di bawah sana.
“Gue dengar kemarin lo diganggu sama Awang.” ujarnya seolah tak ingin berlama-lama. “Lo diapain aja sama dia?”
“Diancam doang kemarin, sekarang udah aman kok.”
“Lo kenapa gak pernah bilang sama gue kalau lo diganggu sama Awang?” tanya Neko lagi. Raut wajah pemuda itu terlihat lebih tegang dari sebelumnya.
“Dia cuma—,”
“Gue dulu selalu nungguin lo pulang, tapi lo gak pernah mau. Okay, gue gak masalah tentang itu, tapi kenapa lo gak pernah cerita ke gue kalau lo diganggu sama orang?”
“Gue... Gue gak kepikiran lo bakalan bantuin gue. Maksud gue—,”
“Lo gak percaya sama gue?” tanya Neko menohok. Tatapannya terlihat semakin tegang. “Gue pernah janji untuk jagain lo, Ra. Lo gak percaya sama gue?”
“Bukan gitu, Ko. Gue merasa gak enak aja kalau harus bilang ke orang lain tentang masalah gue.” jawab Samira takut-takut.
“Orang lain? Lo anggap gue orang lain?” Neko seperti tersinggung mendengar ucapan Samira. “Kita udah temanan lama dan lo anggap gue orang lain?”