41

6.3K 169 5
                                    

 

Empat Puluh Satu

 

Samira tak suka sore dan itu adalah fakta. Fakta yang coba Samira hilangkan, tetapi tak bisa.

Samira selalu merasa gemetar saat melihat langit berwarna jingga sangat intens. Jika hanya sekadar lewat, Samira tak peduli, tetapi untuk melihat dan merasakan suhu hangat langit sore, Samira selalu merasa takut, tubuhnya gemetar, dan mimpi buruk mulai tersenyum menanti bersama malam.

“It’s okay, gue gak akan ninggalin lo.” Ucap William mengerti betul ketakutan Samira.

Dari lokasi rumah William yang tidak terlalu dekat dengan perkotaan, Samira dapat merasakan sunyi yang damai, kecuali kedamaian sewaktu sore.

Mereka sedang berdiri di balkon kamar William, saat sore itu datang merusak ketenangan Samira.

Baru sekitar lima menit, Samira sudah menyerah. Ia memilih masuk ke dalam ruang kamar, menutup jendela, dan berjalan ke atas kasur. Intinya Samira tak suka langit sore.

“Lo mau sesuatu?” Samira menggeleng. Ia enggan mengahadap ke William dan tetap dalam posisinya, membelakangi pemuda itu.

Samira dapat merasakan sisi ranjang yang bergoyang, tanda bahwa William naik ke atas. Tangan pemuda itu perlahan menyentuh lengan polos Samira, turun ke bawah, dan berakhir mengelus perut Samira yang mulai kentara.

Itu pertama kalinya William menyentuh makhluk itu, membuat bibir William perlahan terangkat membentuk senyum tipis.

Samira membalikkan badan, menatap William. Gadis itu mulai berkaca-kaca entah kenapa. Namun, sepertinya William bisa mengerti alasannya.

“Maaf,” William menggantung ucapannya, ia tak tahu harus mengatakan apa. Pemilihan kata tiba-tiba berhenti di otaknya saat merasakan badan Samira yang bergetar.

William menarik dagu Samira, memaksa gadis itu untuk menatap pada mata William, William berkata dengan nada suara yang pelan, “Maaf untuk semuanya, stop menyalahkan diri karena itu tidak benar.”

Mata bulat gadis itu berkedip, menjatuhkan air mata yang telah berkumpul di pelupuk mata. William harap itu yang terakhir.

“Berhenti menangis dan sebut apa yang lo mau sekarang.” Tiba-tiba pipi Samira semakin memerah. William tahu bahwa gadis itu menginginkan sesuatu yang mungkin akan ia kubur dalam hati seorang diri.

“Hm?” Sambil William menyeka air mata wanitanya.

“Kalau gitu, gue yang ngidam.” Ujar William mulai aneh menurut Samira. “Mau nyus—, Eh mau ke mana?” William menarik tangan Samira yang hendak bangun dari posisinya.

“Jangan aneh-aneh deh, Kak.” Tekan Samira disertai dengan side eye.

William menatap Samira, tak membiarkan gadis itu melengos darinya. Tangan William yang tak pernah sekolah itu mulai membuka kancing kemeja yang Samira gunakan.

“Kak!” Teguran Samira diabaikannya.

Terus William lanjutkan aktivitas cabulnya hingga tercapai. “Gak lebih, yah!”

“Gak janji.” Tolak William secara tak langsung. Tangannya lanjut sibuk mengeluarkan bra yang dikenakan Samira. Sangat pro, yah, adick-adick.

Saat Samira hendak mendorong tubuh William menjauh, pemuda itu justru semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Samira, ia bergumam tidak jelas, dan berakhir melahap mainannya sesuai rencana awal.

Comfortable Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang