Tiga Puluh Empat
Setelah membersihkan diri, Samira ikut bergabung di meja makan yang hanya diisi oleh William malam itu. Dari tempatnya, Samira dapat melihat rambut William dibiarkan berantakan begitu saja membuat Samira ingin kayang di tempat. William tampak kebingungan dengan isi meja makan, terlihat dengan piring pemuda itu yang belum terisi sama sekali.
“Mau makan apa?” tanya William pada Samira. Hebat sekali manusia ini, baru saja ia marah-marah tidak jelas karena mengetahui bahwa Samira keluar tanpa izinnya dan sekarang ia bersikap seolah tidak ada sesuatu yang terjadi. “Hey?”
“Steak bebek.” jawab Samira asal. William berdiri dari duduknya membuat Samira sedikit kaget. Pikir samira, mungkin mereka akan di luar sore itu.
“Ada daging bebek gak, Mbak?” tanya William. Samira menerka lagi, mungkin William ingin membuat steak bebek saat itu.
“Ada, Tuan.” detik berikutnya, satu orang lainnya datang membawakan daging bebek pada William.
“Mau masak?” tanya Samira penasaran.
“Hm.” gumam William.
Samira memilih diam dan memperhatikan William yang mulai memotong daging-daging bebek tersebut menjadi beberapa bagian. Sejujurnya, Samira tidak enak bertatapan langsung dengan William karena pemuda itu baru saja memarahi semua orang yang ada di apartemen, bahkan Karin yang sore tadi karena mengira anak Galang sudah berada di apartemen juga mendapatkan omelan William. Padahal semua itu pure kesalahan Samira.
“Soal tadi... hmm.. aku mau minta maaf.” William tak menjawab dan tetap fokus terhadap kegiatannya. Ia membuat bumbu. Pemuda itu menggunakan banyak bumbu dan rempah yang Samira tak tahu semua kegunaan, bahkan nama sebagian bumbu tersebut Samira tak tahu pasti. Setelah menghaluskan bumbu, William mengolesi daging yang tadi. Dan tahap terakhir, William memasukkannya ke dalam oven.
“Medium, rare, well, or?”
“Medium rare.” potong Samira semangat. Ia tak sabar mencoba buatan William yang satu ini.
“Any requests?”
“Aku mau nasi goreng tapi banyakin sayurnya.”
“Sejak kapan lo suka sayur?”
“I dunno. Intinya mau itu.”
Lagi-lagi, William mengabulkan permintaan Samira. Dengan bantuan Mbak Merry, William bisa menyiapkan bahan dengan cepat, seperti bumbu, potongan sayuran sesuai keinginan Samira, dan nasi yang sudah mulai dingin.
Tugas William adalah menyatukan bahan-bahan tersebut di atas penggorengan dan memberikan rasa yang pas.
“Sawi putihnya terakhir aja, aku mau ada rasa crunchynya.”
“Hm.”
Samira hanya mengamati. Mengamati setiap gerakan tangan William dalam mencampur adukkan nasi dengan bumbu juga sayuran, sebelum akhirnya memasukkan sawi putih, dan mematikan kompor.
Sesuai harapan Samira, sawi putihnya tidak terlalu layu berbeda dengan sayuran yang lainnya.
Ada juga steak yang telah tersedia di meja lebih dulu membuat perut Samira menggonggong rakus di dalam sana. Samira duduk di meja makan dan menunggu Mbak Merry menyiapkan makanan untuk keduanya.
“Kak Will masih marah, yah?” tanya Samira lagi. Rasanya aneh jika melihat wajah William yang seperti itu.
“Gak usah dibahas.”