Selamat Membaca!
Dua Puluh Tujuh
Samira menatap William dengan tatapan aneh. Entah apa yang William pikirkan tentang dirinya saat ini, tetapi sedari tadi pemuda itu menatap Samira seolah ingin memangsa Samira hari itu juga.
Entahlah, mungkin William marah karena tadi Samira menampar pipi pemuda itu. Salahkan William yang mengganggu Samira di saat mood Samira sedang tidak baik.
Tadi, samira sedang memotong wortel saat sebuah tangan William tiba-tiba memeluknya dari belakang.
Saat Samira berkata, “Kak, jangan ganggu.” William justru menenggelamkan wajahnya di celuk leher Samira. Sehingga Samira dengan tegas menolak karena merasa malu dilihat oleh beberapa maid yang juga bekerja di dapur saat itu.
Namun, William yang keras kepala masih enggan melepaskan Samira, maka Samira pun berbalik dan menampar kasar wajah William. Bukan persoalan pelukan saja, tetapi Samira tahu bahwa William memiliki tujuan lain.
“Ngapain lo matung di situ?” Galang muncul di area dapur dengan muka bantalnya yang masih tercetak jelas. “Oh, nontonin ayang ternyata. Kok kalian diam-diaman? Gak ngobrol atau apa gitu?”
Galang mengambil segelas air kemudian meminumnya dengan tandas. Ia menoleh pada Samira yang sibuk memotong sayuran lalu beralih kepada William yang sedang menampilkan wajah kesal. Saat itu, Galang dapat melihat warna di wajah William yang tidak merata. “Muka lo kenapa merah sebelah begitu?”
“Ditampar kenyataan.” jawab William tanpa mengalihkan pandangannya dari Samira. Tanpa penjelasan lebih lanjut, Galang cukup tahu bahwa yang William maksud adalah Samira.
“Kalian bisa keluar dari sini gak?” tanya Samira dengan sisa-sisa kesabarannya. “Menganggu.”
“Ayo,”
“Enggak!” tolak William saat Galang mengajaknya. “Ini apartemen gue, kok lo ngatur?”
Samira membanting pisau yang ia gunakan di atas talenan, kemudian menatap William datar. “Fine, aku yang keluar dari sini.” Samira berbalik dan segera melangkahkan kaki dari dapur.
“Kejar, anjing!” suruh Galang sambil menabok kepala adiknya itu. Padahal, tanpa Galang perintah pun, William akan mengejar Samira.
“Ra, lo kenapa sih? Pagi-pagi udah marah-marah gak jelas.”
“Iya, aku emang gak jelas.” ketus Samira sambil terus berjalan. Tujuannya saat ini adalah kamar. Namun, sebelum masuk ke dalam ruangan tersebut, William menarik pergelangan tangan Samira.
“Lo kenapa?” tanya William, kali ini mencoba menggunakan nada yang lebih ringan. Jarang-jarang William mengesampingkan egonya untuk cewek, apalagi menahan emosi seperti saat ini. Biasanya, William tanpa perasaan akan memaki seseorang saat emosi.
“Gak apa-apa.” mendengar jawaban maut Samira, William menggeram frustrasi sambil mengacak kasar rambutnya.
“Lo bisa to the point aja gak?”
“Cari tau aja sendiri, aku mau istirahat.” Samira hendak melangkah pergi tetapi William lagi-lagi menahan tangannya.
“Okay, gue yang salah.”
“Tapi kak Will gak tau kesalahannya di mana.” Itu adalah penolakan tidak langsung yang Samira berikan.
“Kasih tau gue biar gue bisa perbaiki semuanya.”
“Telat, kak. Semua udah terlanjur.”
“Lo ngomong apa sih? Gue gak ngerti.” kerutan di kening William semakin bertambah, begitu pusing menghadapi Samira yang seperti ini.