Selamat membaca!
***
Singkat cerita. Samira keluar dari apartemen William dan William tidak protes sama sekali. Yah begitulah hebatnya kenyataan. Memporak-porandakan situasi dan mempermainkan salah satunya. Ironis.
Kini, Samira hanya bisa meringkuk di dalam kamarnya. Setibanya di rumah, ia belum melakukan apa-apa selain menangis dan mengomel tidak jelas.
“Gue udah suka sama lo dari dulu anjing. Gue sampai rela terlihat jadi cewek murahan. Nope, itu salah gue. Harusnya dari awal gue gak termakan sama muka doang.”
“Gak. Gue gak boleh sedih. Masih banyak yang harus gue lakuin. Persetan dengan percintaan karena gue gak butuh cinta. Harusnya dari dulu gue gak mikirin cowok dan gak perlu repot-repot caper.” Samira mengusap air matanya. Menguatkan diri, tetapi tidak berhasil.
“Tapi gue benaran sayang sama kak Will. Gue bahkan selalu kirimin kado ultah walaupun selalu dibuang. Gue sering kirim lukisan wajah dia tapi selalu dibuang. Gue juga pernah sering bawain makan siang ke kantor tapi gak pernah di makan, padahal isinya udang. Kak Will nya aja yang gak peka. Waktu dia kecelakaan gue 24 jam jagain dia tapi pas bangun malah cari orang lain. Gue kurang baik apa buat kak Will?” Samira kembali berderai air mata setelah mengucapkan perbuatan yang pernah membuatnya kecewa terhadap William.
“Gue gak pernah berkecil hati karena gue pikir kak Will gak punya cewek lain. Gue masih terus kasih perhatian, gue pikir setiap perlakuan dia karena gak tau aja itu dari gue. Gue rela jadi pemahat kayu biar bisa buat muka kak Will, yah walaupun hasilnya gak bagus-bagus amat tapi gue tetap kasih.” lagi-lagi tangisan Samira menjadi-jadi.
“Gue bahkan pengen donorin jantung sama nenek Rena kalau aja mama Anna gak tau. Karena gue gak bisa liat kak Will nangis. Gue sakit liat kak Will sedih. Sampai kak Will kecelakaan gue tetap ada buat dia. Gua gak pernah minta imbalan, cukup perhatian kak Will aja. Lirik gue dikit kek. Masa gue harus ngangkang dulu biar kak Will tertarik. Kan gue bukan pelacur.” Samira mulai kesal dengan hidupnya. Belum lagi ponselnya yang sejak tadi mengganggu.
“Gue lagi sedih tau. Lo gak dengar tadi kak Owi cerita apa? Kak Will punya cewek lain.” omel Samira setelah mengangkat telpon dari Khia.
“Mulai. Nangis aja sampai subuh. Mending lo buka pintu, ini dari tadi gue di depan gak ada yang nyahut. Keluarga lo bangkrut apa gimana? Masa gak mampu bayar orang.”
“Bentar. Gue yang suruh mereka gak terima tamu. Kirain kak Will bakalan datang gitu jemput gue, minta maaf, bawa hadiah, atau apa kek.”
“Buruan, gue di sini dari tadi.” Samira hanya mengubungi penjaga untuk membukakan gerbang untuk temannya itu dan ia menunggu di kamar. Tak lama kemudian, gadis itu pun muncul di ambang pintu.
“Gue nginap, yah. Udah izin sama Bang Saga, sama bonyok lo juga. Makanya gue bawa koper.” ujar gadis itu sambil memamerkan dua koper di tangannya.
“Nadav tadi ada chat gue, tapi keburu dihapus sebelum gue baca. Mungkin gak sih dia udah di Indo.” Khia dan segudang informasinya.
“Gak tau. Gue tuh lagi malas ngomongin orang, butuh waktu sendiri.” pragmatik Samira kepada Khia.
“Kasian bangat yah lo. Untung gue udah sering dighosting sama cowok.” ejek Khia yang tidak mendapatkan respon dari Samira. Tanda bahwa gadis itu benar-benar pupus harapan.
“Daripada sedih, mending kita jajan aja gimana? Gue lapar juga.” Samira hanya melirik kepada Khia.
“Ayolah. Naik motor kita.”
“Emang lo bisa naik motor.”
“Kan lo bisa, Ra.” sebenarnya Samira malas dan enggan untuk bergerak, tetapi mau tidak mau Samira tetapi mengikuti perkataan Khia.
