38

7.9K 233 10
                                    

Selamat Membaca!

Tiga Puluh Delapan

Biar kubawa kalian ke suasana lampau beberapa tahun lalu. Akan kuceritakan alasan Samira tak suka dengan sore dan sangat takut melihat jingga di langit.

Akan kumulai dari kisah Samira dan saudaranya, bernama Darisa. Parasnya persis seperti Samira, usianya selisih 7 menit lebih tua dari Samira. Yah, mereka adalah gadis kembar.

Sayang sekali, kisah mereka tidak berjalan sama baiknya. Katakanlah, Darisa kurang beruntung dalam perjalanan hidupnya.

Sore itu, ia bertengkar hebat dengan Samira, itu adalah pertengkaran pertama yang mereka lakukan selama mereka remaja, sejak kecil mereka selalu diajarkan untuk saling memaafkan, tetapi untuk sore itu ternyata ada perbedaan kisah.

Isi pertengkaran mereka tak jauh dari kisah percintaan yang benar-benar salah, perasaan yang seharusnya tidak ada, dan semua masalah itu tak akan muncul.

Seberapa keras pun Samira menjelaskan, “Gue gak tau lo suka sama dia, lagian Mom and Dad gak akan setuju kalau tau lo suka sama—,”

“Itu kalau mereka tau, Ra. Selama mereka gak tau, semuanya gak akan jadi masalah.” Dan Darisa terus membantah pernyataan sang adik.

“Lo pikir bohong sama Daddy bisa bertahan sampai kapan? Mikir, Sa! Ini demi kebaikan lo.” Pekik Samira mulai kehabisan kesabaran. “Ini demi lo juga, Sa. Gue gak mau lo semakin jauh—,”

“Lo aja yang lebay, perasaan kayak gini, perasaan yang gue rasain itu lumrah di luar sana, gak akan jadi masalah juga kalau lo diam. Gak usah nyebarin masalah ini ke siapapun. Oh, atau lo cemburu sama gue? Lo iri kan sama gue? Lo iri karena gue selalu jadi nomor satu sedangkan lo nomor dua?”

Samira tertawa miris. Jika begini, mungkin Samira perlu menyadarkan lawannya. “Iri kata lo? Yang ada gue kasian sama lo. Lo sama gak warasnya kayak Bang Saga, bedanya Bang Saga masih bisa mengendalikan diri sedangkan lo enggak. Perlu gue sadarin kalau orang yang lo bangga-banggakan itu, orang yang lo suka itu, sebenarnya suka sama gue? Buka mata lo, Sa! Sadar!” Kalimat panjang itu tak pernah Samira sangkah akan menjadi bom yang akan merusak ikatan persaudaraan mereka.

“Gak mungkin!” Histeris Darisa. Perkataan Samira tak mungkin benar.

“Harusnya lo bersyukur, Sa. Gue masih waras untuk gak menaruh perasaan yang sama. Harusnya lo bersyukur karena gue gak gila kayak lo.”

“Anjing!” Maki Darisa penuh kebencian. Ia mencoba mengelak bahwa perkataan Samira salah, tetapi ingatan justru membawa Darisa kembali ke masa-masa yang membuat semua jelas. Bahwa perasaannya tidak terbalaskan dan fakta lain yang mengatakan bahwa perasaan yang Darisa tunggu sebagai jawaban tak akan pernah datang sebab telah berpaling ke adiknya sendiri.

“Ra?” Suara seorang pemuda muncul di antara keduanya. Saat itulah Darisa dipenuhi rasa benci dan memutuskan untuk melompat dari gedung tanpa berpikir panjang.

Yah, sialnya di situ.

“Melamun trus. Mikirin apa sih?” Tanya Saga melihat sang adik hanya menatap makanan pagi itu.

“Aku...” Samira menatap Saga kemudian beralih menatap Zuya dan Reno. “Mom, Dad... Can we go to Darisa's grave today?”

Mimik wajah ketiganya langsung berubah saat itu juga. Bukannya tidak senang, tetapi rasanya canggung saja jika membicarakan hal tersebut. Apalagi saat mengingat bahwa dulu Samira hampir mengalami gangguan mental karena perasaan bersalah setelah kepergian gadis itu. Sejak itu, mereka sepakat untuk tidak mengungkit permasalahan tersebut sampai detik ini.

Comfortable Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang