Empat Puluh Dua
Sesuai harapan Adam, kini Galang turun tangan. Seperti pindah rumah, Galang beserta anak dan calon istrinya pindah dari apartemen ke rumah William, membawa begitu banyak barang.
Singkat cerita, rumah Galang masih dalam tahap penyelesaian. Rencananya, rumah yang berada di samping milik William itu akan Galang gunakan sebagai tempat pernikahannya dengan Lyn. Itulah sebabnya, persiapan dan penyelesaian rumah Galang lebih rumit daripada rumah William.
“Kok lo di sini?” William dan Galang bersamaan.
Pertanyaan William ditujukan untuk Galang, sedangkan Galang bertanya pada Saga. Keduanya sama-sama heran berdasarkan pikiran masing-masing.
“Biar gue bantu jawab. Saga ada di sini karena ketololannya juga William. Dan Will, Galang ada di sini masih karena ketololan lo.” Jelas Adam berani. Ia ingin memancing emosi William agar Galang dapat melihat itu.
“Kan, ngambek lagi.” Sindir Adam saat melihat ekspresi William yang berubah.
“Bentar lagi jadi bapak, masih aja ngambekan.” Saga bersuara. Kali ini William dapat merasakan aura Saga yang lainnya. Ada kenyataan di sana yang dibumbui dengan sindiran.
“Lo masih marah.” Tebak William.
Keduanya bebas berbicara sekarang sebab Adam dan Galang tengah sibuk berbincang yang entah apa topiknya lalu Lyn sedang mengobrol dengan Samira.
Kali ini fokus William perlahan teralihkan pada Samira. Ia mengenakan kemeja William, tampak sangat besar di badan Samira yang kecil.
“Demi dia, gue siap melakukan apapun.” Saga menunjuk sang adik dengan mengayunkan dagu. “Daddy gue tau soal ini, tapi dia gak mau mengungkit lebih dalam karena takut mengganggu pikiran Samira. Lagian gue lebih suka liat Samira tersenyum ketimbang berdiri dalam ketakutan karena gue.” Lanjut Saga santai. Ia merebahkan tubuhnya ke sandaran sofa setelah menepuk singkat lengan William.
“Selain itu, gue gak mau kehilangan teman kaya raya kayak lo.” Dari semua ucapan Saga, William sangat percaya dengan kalimat terakhir pemuda itu.
Memang sejak dulu Saga memilih berteman dengan William karena Saga terkagum-kagum dengan kekayaan William. Saga yang merupakan penerus perusahaan keluarga selalu merasa rendah di samping William yang merintis usahanya sendiri. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa pencapaian William bukan semata-mata dari hasil usaha sendiri, tentu ada privilege dari Wan, baik secara terang-terangan pun diam-diam. Dan William tahu itu.
“Gue yakin kalau itu.”
“Jangan pernah lo sakiti Samira, gue lebih sayang Samira daripada nyawa gue sendiri.”
“Hm.” William ikut merebahkan diri persis seperti Saga.
“Gue gak main-main.”
“Lo gak perlu jelasin. Gue tau lo gila.”
“Anjing, lo!” Saga menendang kaki William.
Kaki William yang tak terima balas menendang kaki Saga lebih kencang, dan terjadilah tendang-menendang di antara kedua kaki, hingga berubah menjadi pergulatan antara keduanya.
“Mulai,” sindir Galang. Sejak resmi menjadi seekor bapak dan memiliki sebuah anak, vibes Galang langsung berubah drastis. Jiwa kebapak-bapakannya muncul begitu saja.
Bisa gitu yak? Pikir orang-orang terdekat Galang.
Hebatnya, Galang memainkan perannya sebagai seorang kakak yang baik untuk William yang tidak tahu diri.