Selamat Membaca!
Empat Puluh
Memang rencana awal Samira adalah meminta William memasak untuk Samira, tetapi setelah melihat Saga dan Adam juga berada di sana, Samira jadi ingin jika ketiga manusia itu bersama-sama membuat suatu hidangan sesuai permintaan Samira.
Samira meminta mereka bertiga untuk memasak tanpa memberitahu makanan apa yang ingin Samira makan. Maunya Samira, tiga manusia itu mengolah bahan masakan yang telah Samira pilih.
Pada akhirnya, Samira justru lebih memilih memakan telur ayam kampung yang ia rebus sendiri. Gadis itu mengabaikan makanan yang dengan susah payah telah Saga, Adam, dan William masak untuknya. Katanya sih dia sedang tidak mood dengan daging-dagingan.
“Tahan gue!” Gumam Adam penuh makna. Lebih bermakna daripada senyum Samira saat meminta ketiganya untuk mengolah bahan yang telah ia pilih.
“Untung masih adek gue lo, Ra.” Geram Saga. Ia juga tak kalah emosi melihat Samira yang menyebalkan seperti itu.
Hanya William yang masih bisa berpura-pura sabar. Pemuda itu menatap Samira dengan senyuman, membantu Samira mengeluarkan cangkang telur, Samira saat itu tinggal mengunyah saja.
“Gue doain lo kentut baunya sampai ke tetangga sebelah.”
“Maaf, Adam. Nanti gue makan itu kok. Kalian makan aja dulu, nanti kalau ada sisa gue makan.” Samira tersenyum setelahnya.
“Untung bukan gue yang kasih hamil.” Adam masih bergumam tidak jelas. Pemuda itu duduk sambil memilih makanan mana yang ingin ia makan.
Di samping Samira, William diam saja. Dipandanginya Samira lekat seolah tak ada hari esok untuk melihat lagi gadis seperti Samira.
“Lo berdua bisa makan di tempat lain gak? Makanan gue hambar liat kalian.” Sindir Adam pada William.
***
AAAAA!!!!!
Teriakan panjang itu terdengar dari lantai atas, itu suara Samira. Segera Adam dan Saga ke sana, diikuti William yang heran dengan kekompakan dua manusia tolol itu.
Setelah tiba di atas sana, tampaklah Samira sedang mematung menatap sebuah ruangan yang merupakan kamar William. Dari dalam sana muncul seekor hewan besar yang biasa di sebut harimau.
Yaps. Harimau putih yang dibesarkan William oleh William sejak setahun terakhir seperti anak sendiri, mereka memanggilnya dengan nama Kepa.
“Ra,”
William melangkah mendekat, takut hewan besar itu melahap Samira. Kepa belum terbiasa dengan manusia selain William dan Galang, juga seseorang yang William tugaskan untuk memberi makan kepada Kepa di villa tempat Kepa tumbuh besar.
Sekarang, Kepa sedang berhadap-hadapan dengan Samira. William berharap Samira tidak jatuh cinta pada hewan sialan itu. Namun, doa William sepertinya ditolak mentah-mentah oleh Tuhan karena sekarang Kepa melangkah mendekati Samira. Mengendus tangan Samira, kemudian menjilatnya.
William ikut mendekat. Menarik Samira menjauh dan ia berjongkok di hadapan hewan tersebut. Saat menyadari sang tuan, Kepa langsung melompat ke arah William seolah ingin memeluk tuannya. Ia mengendus ke wajah William begitu rindunya.
Terlihat kedekatan dua hewan— ralat, kedekatan dua makhluk tersebut. Kepa begitu merindukan tuannya serta tuan yang begitu menyayangi peliharaannya. Sangatlah kelihatan.
Saat menyadari sesuatu, William berbalik pada Adam dan Saga.
“Ulah dia.” Adam dan Saga kompak membela diri masing-masing. Mereka saling menunjuk, saling menyalahkan.
William hanya dapat menghela napas melihat dua manusia itu yang selalu membuat William naik pitam. William hanya perlu bersabar untuk beberapa hari karena semua ini menyangkut restu sah yang ditunggunya dari Saga.
Setidaknya, Saga bisa bersikap normal lagi di hadapan William.
“Oh, nama kamu Kepa?” William menoleh, dilihatnya Samira telah duduk berhadapan dengan Kepa.
William membiarkan saja interaksi tak berbobot itu, ia ingin melihat bagaimana Kepa memperlakukan orang baru, dan bagaimana Samira mengatasi hewan mematikan itu.
“Ini harimau yang kita temui tahun lalu.” Samira menarik kesimpulan. William cukup kaget karena Samira masih mengingatnya. Itu sudah berlalu selama setahun. Saat mereka tak sengaja bertemu kala liburan, William dan teman-teman sebayanya serta Samira dan teman kuliahnya.
Harimau tersebut lebih tepatnya ditemukan oleh Samira di belahan hutan yang seharusnya tak dipijak oleh manusia. Ketika itu, Samira ingin melepaskan hewan tersebut ke dalam hutan, tetapi William yang ada di sana tak setuju dan diam-diam membawa hewan tersebut tanpa sepengetahuan siapa-siapa, termasuk Samira.
“Kok bisa di sini? Bukannya kak Will udah lepasin, yah?”
“Gue bawa.” Samira memajukan bibirnya, cukup kesal dengan kebiasaan William yang tak mendengar Samira.
Samira merasakan tangannya dijilat oleh Kepa, saat itu Samira menyadari bahwa hewan tersebut ingin mengambil cemilan yang ada di tangannya.
“Jangan banyak-banyak, nanti dia kebiasaan.”
“Cemila doang, kak.”
“Dia gak boleh makan banyak cemilan.”
“Kenapa?”
“Gak boleh.” William penuh penekanan.
“Okay.” Acuh Samira. Ia memilih mengabaikan William dan terus memberikan cemilannya kepada Kepa sampai William menariknya.
“Kenapa sih, kak? Cemila doang.” Protes Samira tak terima.
William tak menjawab. Ia menoleh ke belakang, Saga dan Adam sudah tak lagi ada di sana. Mereka hilang entah ke mana, yang pasti mereka tak ingin di salahkan.
“Jangan, Ra!” William kembali menarik tangan Samira saat kembali menyodorkan cemilan kepada Kepa.
“Kasih tau dulu alasannya.” William terdiam. Ia mengutuk diri dalam hati, memaki kebiasaannya yang tiba-tiba seperti anak kecil. Sial, ia cemburu kepada Kepa.
“Dia suka—,”
“Gue yang gak suka. Gue gak suka lo lebih perhatian ke hewan ini daripada gue.” Jujur William. Itu memang alasan sebenarnya.
“Hewan, Kak. Aku gak mungkin tiba-tiba jatuh cinta sama hewan.” William terdiam. Ia menatap Samira begitu dalam, meraih tangan sang gadis, dan menggenggam tangan itu dengan lembut.
William bahkan tak menyangka akan menggenggam tangan mungil itu lagi. Tangan seorang gadis yang ia telah perlakukan dengan tidak adil. Tangan seorang gadis yang sedang mengandung darah daging William.
Gadis?
Haruskah William mengganti sebutan itu menjadi ‘Wanita’ mulai sekarang?
“Gue bukan orang yang baik, Ra. Gue selalu membuat lo kecewa dan pernah membuat hidup lo menderita. Mungkin banyak orang yang lebih pantas buat dapatin lo, tapi gue berdiri di sini, meminta maaf sekali lagi.”
Samira tak menjawab. Ia masuk ke dalam pelukan William.
“Aku selalu maafin dan selalu menerima kak Will. Aku selalu sakit, selalu menderita, tapi itu yang bikin aku semakin sayang sama kak Will. Aku selalu yakin dengan perasaan dan pilihan aku saat kak Will membuat aku kecewa dan aku justru semakin menyayangi kak Will.” Ungkap Samira dari balik pelukannya.
Detik berikutnya, tangan William terangkat, membungkus Samira penuh kasih, ia merindukan Samira yang seperti ini. Samira yang tidak tahu diri dan tak tahu malu, jujur dengan perasaannya dan William, bersikap sebagaimana dirinya ingin lakukan. Samira selalu menjadi hal terbaik untuk dirinya sendiri.
ToBeCon
Seminggu ke depan Update.
Terima kasih telah membaca, emote love untuk kalian.
