Empat Puluh Delapan
Waktu berlalu begitu cepat. Banyak hal yang belum selesai di masa lampau dan tenggelam begitu saja seperti ditelan bumi.
Dalam usia kehamilan
Samira yang sudah memasuki bulan ke sembilan, William semakin protektif dan tak sekalipun meninggalkan Samira. Bahkan urusan kantor semuanya William serahkan kepada Adam tanpa peduli jika Adam mau korupsi atau tidak. William sudah lama memperkerjakan Adam yang tidak tahu diri itu. Namun, William tidak peduli karena Adam memang pantas mendapatkan imbalan sesuai kemauannya. Lagi pula Adam hanya mengambil sebagian gajinya, mungkin sedikit tidak enak karena terlalu sering memakai uang William.
Yah sudahlah.
Yang penting Adam terus membantu William.
Back to topic.
Orang tua William dan Samira juga lebih sering datang berkunjung ke rumah Samira. Galang yang berencana akan menggelar pernikahan sekaligus pindah ke rumah barunya juga terpaksa urung karena ulah William.
Hingga suatu hari, saat William terbangun, dalam waktu singkat dan seperti mimpi di siang bolong, William mendengar tangisan. Suara tangis seorang bayi mungil mengalun dari dalam kamar mandi.
Dengan langkah panik, William mencari sumber suara itu, yang ternyata adalah suara tangis seorang bayi yang ada di hadapan Samira. Yah, itu adalah suara tangis seorang bayi yang terdengar dari dalam ponsel saat Samira sedang menonton YouTube sambil menggosok gigi.
“Kenapa?” Tanya Samira bingung. William segera mengusap keringat yang mengucur di pelipisnya, berjalan memeluk perut buncit Samira dari belakang. Melihat bumil itu sedang kelelahan, William dengan niat baik mengangkat perut Samira agar gadis itu tidak terlalu kelelahan.
“Kamu jangan sering-sering jauh dari aku. Kalau ada perlu ngomong aja, jangan gak enakan mulu.” Omel William pada Samira.
“Kan Cuma gosok gigi, Kak.”
“Biasanya kan aku temani, Ra.”
Samira berkumur sebelum menjawab William. “Tadi aku dengar kamu bicara serius dengan Adam makanya gak mau ganggu kamu. Lagian ke sini juga gak bahaya.”
“Tetap aja aku panik, Ra. Jangan gini lagi, yah.”
“Iya.” Samira membalikkan badan menatap William. “Kita gak jadi ke dokter kan hari ini? Aku mau nonton Drakor aja, yah.” William mengangguk mengiyakan.
Melihat bumilnya sedang kesulitan untuk berjalan, William membawa Samira ke dalam gendongan agar tak terlalu lelah. William mendudukkan Samira di atas kasur empuk dengan sangat pelan, takut jika Samira merasa terganggu atau kesakitan.
“Mau aku ambilin cemilan?”
Samira menggeleng. “Nonton bareng aku aja di sini.” Dengan senang hati William mengikuti kemauan calon ibu itu. Siapa sih yang akan menolak memeluk sang kekasih sambil memandang layar laptop saja? Minusnya William harus menyimak, jika sampai salah menyimpulkan cerita maka Samira akan marah besar nantinya.
Hari saat William dan Samira kembali dari rumah sakit dan Samira dinyatakan akan melahirkan sekitar seminggu lagi, William semakin overprotektif. Hampir setiap malam ia tak bisa tidur nyenyak dan terbayang-bayang jika nanti ia menemani Samira di ruang persalinan, deg-degan menunggu suara tangis bayi, lalu William akan melihat sosok putranya yang pertama.