46

4.3K 119 7
                                    

Empat Puluh Enam

Sekitar pukul 10 pagi itu, William sudah siap mengantar Samira ke kampus untuk bertemu Devan. Sialan sekali manusia itu telah membuat istri kecil William menangis seperti tadi.

Selama kurang lebih 20 menit perjalanan, akhirnya keduanya tiba di pekarangan kampus dan siap menemui Devan. Awalnya Samira menolak, tetapi setelah diyakinkan seribu kali oleh William, Samira pun menurut dengan berat hati.

Dan di sinilah mereka sekarang. Berdiri di ruangan Devan.

"Ngapain lo ke sini? Mau konsul juga?" Tanya Devan.

"Ikut gue bentar." Ajak William pada Devan. "Jangan ke mana-mana, aku mau ngomong dulu sama Devan." Samira mengangguk saja, membiarkan William dan Devan untuk pergi.

Di luar ruangan, agak jauh dikit, William dan Devan mulai berbicara empat mata, kalau tiga mata kan beda cerita.

"Sorry, bro. Gue kira Khia bercanda kalau Samira lagi hamil. Kebiasaan dibohongi gue sama dua bocah itu makanya gak percaya kemarin. Setelah mommy Zuya ngomong baru gue percaya kalau ternyata benaran hamil." Devan menjelaskan lebih dulu. Sudah ia tebak ke mana akan pergi pembicaraan ini.

William membuang napas berat. Susah jika perkaranya begini. Jangankan Devan, William saja pernah menjadi korban kebohongan Khia dan Samira. Dua makhluk itu memang sangat kompak dalam persoalan berbohong.

"Gue lebih heran sih pas tau kalau lo pelakunya. Gue kira lo gak doyan cewek, ternyata penjahat kelamin."

"Gue cuma gitu ke Samira doang."

"Mang eak?"

"Bacot."

"Lo mau ngomong apa lagi? Eh satu lagi, tugas yang gue kasih ke Samira itu sama dengan mahasiswa lain, bedanya Samira ada beberapa tugas yang bolong, makanya tugasnya terkesan lebih banyak." Jelas Devan lagi.

William mengangguk paham. Setelah berpikir beberapa menit, William memutuskan untuk membiarkan Devan kembali pada pekerjaannya.

Toh masalah ini sudah cukup jelas. Dan sebenarnya William juga salah, karenanya Samira sering meninggalkan kuliahnya, dan karena William jugalah Samira kerap tak fokus dalam menjalankan kewajibannya.

Kini, ketiganya telah duduk di rungan Devan. William yang duduk di samping Samira hanya menjadi pendengar saat Devan mulai bertanya pada Samira. Beberapa kali Samira terlihat bingung dalam menjawab pertanyaan, tetapi tetap bisa menjawab pada akhirnya.

"Siapa yang kerja tugas kamu?"

"Kak William." Samira mengaku dengan wajah lesu. Meskipun Samira mengelak seperti di pertemuan sebelum-sebelumnya, Devan pasti akan mengetahui kebohongan Samira pada akhirnya.

"Good. Ini yang saya mau, kamu jujur saat ditanya."

"Berarti gak revisi lagi toh?" Tanya Samira penuh harap.

"Iyo. Bukan berarti kamu gak kerja tugas yang lainnya, yah. Tugas kamu masih ada 5 yang bolong, tapi karena kondisi kamu gak memungkinkan makanya saya kurangi tugasnya. Kamu tau kan tugas mana lagi yang harus dikerjakan?" Jelas Devan panjang lebar.

"Udah semua. Ini aku yang kerja semalam." Samira meletakkan tumpukan kertas di atas meja Devan sebagai bukti bahwa ia telah menyelesaikan tugasnya. "Link videonya juga udah aku kirim."

"Ini siapa yang tulis?"

"Aku. Gak percaya?"

"Percaya, tapi ada selembar yang berbeda tulisannya." Devan mengeluarkan lembaran yang dimaksud. Terlihat jelas bahwa tulisan yang satu itu berbeda dengan yang lainnya. "Itu tulisan Bang Saga, makanya jelek." Jujur Samira. "Satu lembar doang, gak ngaruh toh?"

"Nilai kamu juga gak ngaruh, yah. Fifty fifty lah sama effort kamu."

"Kok gitu sih? Aku kan udah jujur."

"Saya tidak peduli."

Di samping Samira, William tersenyum melihat Samira yang mulai kembali ceria, setidaknya Samira sudah berbicara banyak dibanding dengan beberapa jam yang lalu.

Bahkan Devan sudah mulai emosi saat Samira terus menantang ucapannya.


***


Setelah tugas-tugas Samira telah dibereskan. Samira pun bisa ceria sepenuhnya.

Gadis itu tak pernah memudarkan senyumnya. Saat di mobil, di kantor William, dan sekarang mereka berada di restoran dekat kantor William, gadis itu tetap terlihat bahagia. Jika begini terus, William jadi cemas jika seseorang melihat lebih banyak lagi senyuman Samira.

"Ra," panggil William. "Can you stop smiling?"

"Hah?"

"Just stop it."

"Gak bisa, aku lagi happy hari ini." Samira menolak mengerti maksud William. "Makasih, yah, udah bantu aku kerja tugas tadi pagi. Makasih juga udah ngomong sama Bang Devan." Ucap Samira sambil tersenyum.

Mampus!

Senyuman itu terlalu manis. Jika saja ini bukan di tempat terbuka, sudah pasti William telah mencium gadis itu.

"Ra, sini deh. Aku mau bilang sesuatu." Pinta William pada Samira. Gadis itu menurut saja. Hebatnya, William justru mengecup bibir Samira kendati mengatakan sesuatu seperti ucapannya di awal.

Samira tersenyum malu-malu kucing. Harusnya Samira bisa menebak rencana William yang jadul itu, sayangnya ia sempat terdistrak dengan wajah serius pemuda itu.

"Jangan senyum terus, Ra. Nanti orang lain liat senyum kamu."

"Yaudah, deh. Nggak lagi." Samira berusaha menahan senyum membuat bibirnya terlihat monyong.

"Jangan gitu juga, nanti orang lain liat."

"Aku harus menghilang dong?"

"Jangan. Nanti aku gak bisa ketemu kamu lagi."

Dih najis.

***

750+ kata.

Yah segitu saja dulu yah, ges, yah. Kita akan lanjut di lain waktu karena sepertinya cerita ini sudah mulai kabur dari jarak pandang.

By the way, saya belum pernah membuat cerita sampai habis sehingga saya tidak terlalu paham bagaimana membuat ending cerita itu agar lebih memuaskan.

Mohon bantuannya.

Sekian dan terima kasih. Sampai jumpa di lain kesempatan entah di cerita ini atau dengan cerita yang baru.

[Emote Love]

Comfortable Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang