BAB 11

11.9K 792 34
                                    

Sepertinya Dewi keberuntungan sedang tidak berpihak pada Biru hari ini. Hampir setengah perjalanan pulang, tiba-tiba saja ban motornya bocor dan mengempis membuatnya tak merasa nyaman dalam berkendara. Mau tidak mau ia harus menepikan motornya di tepi trotoar, jalanan masih ramai lalu lalang kendaraan. Biru mengumpat dalam hatinya dan mentertawakan nasibnya yang harus mendorong motor beberapa kilo meter kedepan sampai menemukan sebuah bengkel nantinya.

Rasanya seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula, pasalnya ponselnya juga kehabisan baterai dan berakhir mati. Ia tidak bisa meminta bantuan dari siapapun, padahal Biru ingin menghubungi Sangkar untuk menjemputnya. Namun, kesialan benar-benar berpihak padanya.

Tinn

Tinn

Sebuah klakson dari motor matic yang berhenti di samping Biru mengalihkan atensinya. Terlihat seorang lelaki duduk gagah diatas motor matic berwarna hitam berpadu kuning, seragam sekolah yang melekat, helm putih yang sedikit tak asing, senyum tipis dari bibir menawan itu dibalas senyuman yang tak kalah manis dari Biru.

"Kenapa motor lo, Ru?" Tanyanya setelah menaikkan kaca helm.

"Bocor, kayaknya kena paku disana dehh." Biru menunjuk pada jalan yang tadinya ia lewati dan menjadi tersangka utamanya saat ini.

Setelah menoleh pada arah tunjuk Biru, ia kembali menoleh pada gadis disampingnya. "Disitu emang sering orang iseng nyebar paku, ati-ati aja lain kali." Ujarnya dibalas anggukan oleh Biru.

"Biar gue dorongin sampe depan gimana? Satu kilo kan ada pertigaan, nah sebelah pertigaan masuk gang, disana ada tukang tambal. Tempatnya lumayan gak bisa di jangkau mata kalo dari jalan besar, tapi daripada lo ke tambal ban yang deket SMP butuh dua setengah kilo." Sarannya, seorang lelaki dengan tag name di seragam putihnya. Sakti Autama Lyan, ketua kelas sekaligus orang yang menasehati Biru tentang Brigas beberapa hari yang lalu.

Tanpa berfikir panjang, Biru menjawab dengan antusias. "Boleh deh! Tapi gak ngerepotin lo kan?"

"Ngak kok, lagian kan gue yang nawarin. Lo naik aja, biar gue dorong motor lo."

"Siap!" Biru mulai naik ke motornya. Walaupun sedikit ragu, ia mulai merasakan bahwa Sakti sudah mulai mendorong motornya dengan meletakkan kaki diarea snalpot motor Biru. Perlahan motor keduanya melaju beriringan walaupun terlampau pelan.

~•••~

"Lo paham sama daerah sini yah? Ini bukan lumayan lagi, tapi udah jauh dari jalan utama." Tanya Biru pada Sakti.

Kini keduanya tengah duduk di bangku samping bengkel yang telah disediakan. Hamparan sawah yang luas didepan mereka membawa hawa sejuk dan menyapu pandangan. Angin sepoi-sepoi mampu menerbangkan beberapa anak rambut Biru yang terurai, Sakti terpaku beberapa waktu melihat mata lentik Biru, hidung mancung, kulit yang putih terawat, hingga bibir merah jambu yang terbelah dibagian bawahnya. Sungguh cantik mempesona, sialnya Sakti baru sadar akan pesona yang di miliki oleh teman baru di kelasnya.

"Sakti?" Panggil Biru karna tak mendapat sahutan.

Sakti mengerjap, pandanganya langsung lari kearah lain. "Kadang sih Ru, soalnya rumah saudara gue juga deket sini, nyokap juga sering minta anterin gue ke sini atau gue yang sekedar nganterin barang titipan nyokap."

Biru menggangguk paham, karna beberapa meter ke depan jika berjalan lurus akan menemukan sebuah pemukiman warga yang cukup padat. Jika dilihat dari tempat Biru berada masih bisa dijangkau mata.

"Kayaknya kalo punya rumah di daerah sini bakal seru deh, hawanya sejuk, banyak sawah disini, tadi pas dijalan gue liat ada kali yang jernih, kalo sore main disana asik deh, jadi penduduk desa kayaknya juga seru, banyak tetangga." Cerca Biru seraya mengkhayal menjadi penduduk desa ditanah yang masih asri ini.

HANKER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang