Di dalam ruangan bernuansa hitam dan abu-abu, Brigas menyandarkan punggungnya kepada sofa. Helaan nafas berat berkali-kali ia hembuskan, pikirannya berkelana mengarungi isi kepalanya. Mencoba mencari jalan keluar untuk menuju kedamaian yang abadi, rasanya ia akan mati perlahan jika masih bertahan di zona toxic yang dibuat oleh keluarganya sendiri.
Setiap keributan yang terjadi rasanya seperti sebuah cekikan di leher yang bisa merenggut nyawanya kapan saja, bahkan kepalanya bisa meledak di waktu yang tak terduga. Brigas merasa lelah dengan segala hal di dalam rumah, tempat pulang yang tak pernah membuat ia nyaman berada di dalamnya.
"Tadi pagi di rumah ribut besar perkara ada yang bobol ruang kerja ayah, kaki dia luka aja masih bisa pukul Bunda. Gue berharap dia mati secepetnya, dia laki-laki brengsek dan gak pantes buat Bunda." Brigas berusaha mengungkapkan isi kepalanya walaupun tubuhnya sempoyongan dipengaruhi oleh alkohol.
Rigel yang sejak tadi menemani Brigas siap mendengarkan apapun yang sahabatnya keluarkan. "Terus keadaan Tante sama Ratih sekarang gimana?"
"Gue udah anter mereka berdua ke rumah Bogor tadi pagi, gue gak mau mereka jadi sasaran Ayah lebih parah. Tadi pagi... Gue hampir bunuh Ayah."
Penjelasan dari Brigas mampu membuat Rigel terperangah, tetapi ia memilih untuk diam agar Brigas bisa melanjutkan ucapannya.
"Kalo Ratih gak tahan tangan gue, mungkin pisau itu udah nusuk bola mata Ayah." Brigas terkekeh pada akhir kalimatnya, tangan kanannya kembali meraih sebotol alkohol yang berada di meja. Lalu ia meneguknya, isi botol tersebut berhasil tandas tak tersisa.
Rigel tak tahu harus menanggapinya bagaimana, ia takut salah bicara dan bisa membuat Brigas marah padanya. Untuk itu Rigel memberikan Brigas sebatang rokok, tetapi rokok tersebut malah di tempis oleh Brigas.
Tubuh Brigas ambruk ke sofa, ia mengangkat kakinya agar bisa merebahkan tubuhnya dengan nyaman. "Lo bisa jauhin sendu aja gak sih?" Tanya Brigas dengan keadaan yang sudah tidak sepenuhnya sadar.
Rigel tak pernah menyangka bahwa ternyata selama ini Brigas mengetahui hubungannya dengan Sendu masih berlanjut, lantas kenapa Brigas masih diam selama ini?
"Gue gak pernah suka kalo lo deket sama anak pelacur itu." Lanjut Brigas yang tak mendapat jawaban dari Rigel.
Sungguh Rigel ingin menghajar Brigas saat ucapannya begitu merendahkan Sendu, bagaimanapun Sendu adalah kekasihnya. Gadis polos itu tidak tahu menahu tentang kelakuan ibunya semasa hidup, tidak seharusnya ia mendapat perlakuan buruk dari Brigas.
Rasa pusing mulai menggerogoti kepala Brigas, bahkan lelaki itu bisa merasakan bahwa sebuah cairan kental keluar dari hidungnya.
"Gak usah kebanyakan omong lagi, hidung lo udah mimisan." Rigel berjalan ke arah Brigas dengan sebuah sapu tangan, lalu ia menghapus jejak darah di hidung Brigas.
Brigas mencekal tangan Rigel dengan keras. "Setelah Kaiven, gue gak mau kehilangan sahabat lagi." Setelahnya kedua mata Brigas terpejam rapat.
"Lo yang buat orang disekitar lo pergi." Ujar Rigel seraya menempis tangan Brigas.
~•••~
Seluruh sekolah gempar dengan desas-desus bahwa Kaiven resmi keluar dari geng Hanker, bahkan semua orang sudah tahu kejadian di koridor saat Kaiven di keroyok habis oleh para mantan sahabatnya.
Atas perintah dari Brigas, semua orang tidak berani mendekati ataupun berteman dengan Kaiven. Selain itu, Kaiven sendiri menjaga jaraknya dengan orang lain. Ia tahu bahwa kini dirinya sudah dikucilkan dari sekolah, jadi ia hanya perlu tahu diri untuk mengisolasi dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
HANKER
Short Story"𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐚𝐦𝐛𝐢𝐬𝐢, 𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐜𝐚𝐫𝐚 𝐬𝐞𝐦𝐞𝐬𝐭𝐚 𝐦𝐞𝐫𝐞𝐬𝐭𝐮𝐢?" -𝓧𝓪𝓿𝓲𝓮𝓮𝓻𝓬𝓪𝓵 ••• Brigas Air Samudra, lelaki dengan paras tampan dan juga kedudukannya yang tinggi. Kebanyakan orang menghindari Brigas, berurusan...