BAB 43

4.3K 211 22
                                    

Sebuah koper terseret jauh mengikuti arah pemilik untuk membawanya pergi bersama ke tempat yang mungkin tak pernah ia kunjungi sebelumnya, ia akan berangkat beberapa menit lagi. Namun, sebuah batu besar terasa mengganjal dalam dirinya. Untuk sekian kalinya ia menoleh ke belakang, berharap orang yang ia tunggu kedatangannya benar-benar akan menyapanya dari kejauhan.

"Sakti, beneran gak ada yang ketinggalan kan? dari tadi mama liatin kamu gak bisa anteng sama sekali." Sang Mama mencoba merapikan kera kemeja Sakti yang terlihat kusut.

Sakti mengulum bibirnya, "gak ada kok Ma."

"Papa kamu juga kok lama banget sih beli minuman doang kayak ngelewatin jangan tol aja." Sang Mama tak henti-henti menggerutu, bahkan untuk hal kecil sekalipun.

Perjalanan pertamanya menaiki pesawat mungkin membuat Sang Mama merasa gugup, begitupun dengan Sakti. Apalagi ia tidak melihat tanda-tanda kemunculan Biru, padahal gadis tersebut sudah berjanji untuk mengantarnya menuju bandara.

Rasa kecewa semakin menggerogoti Sakti saat sang Ayah berjalan tergopoh-gopoh membawa sebuah kresek yang berisi air mineral, menghampiri sang Mama untuk mengambil alih kopernya.

"Sakti jangan ngelamun terus, kamu gak denger pesawat kita akan segera berangkat?"

Sakti tersadar dari lamunannya, ia segera menyeret koper. Mengikuti langkah Mama dan Papa yang begitu antusias dengan perjalanan pertama mereka menaiki pesawat, berbeda dengan Sakti yang kehilangan rasa semangatnya sejak lama.

"Duhh Mama gugup, biasanya naik kereta api sekarang malah naik pesawat yah Pa." Terdengar tawa dari wanita paruh baya tersebut.

Sakti mengerutkan keningnya saat sang Papa menyerahkan sebuah amplop berwarna Biru muda padanya. "Papa lupa, tadi ada cewek yang nitipin amplop ini pas Papa beli minuman. Katanya buat kamu, kayaknya temen kamu sih soalnya keliatan seumuran."

Dari kejauhan Biru dapat melihat punggung Sakti yang kian menghilang termakan oleh pintu dan waktu, Biru merasa ada yang aneh dengan dirinya. Degup jantungnya berdegup dengan lambat, untuk sekian detik ia benar-benar tidak mendapat pasokan ruang untuk bernafas.

Apakah ia merasa kehilangan akan Sakti yang telah pergi jauh darinya? 

~•••~

Sudah terhitung sebulan lebih sejak Brigas kembali aktif membuat Sendu masuk ke dalam lingkaran penyiksaan yang ia buat, tidak ada rasa prihatin sedikit pun yang ia tunjukan. Anehnya, Biru terlihat tak menunjukkan pergerakan sedikitpun. Hal tersebut membuat Brigas tersadarkan, bahwa kemungkinan besar Sendu menyembunyikannya dari Biru. Tentu saja Brigas tidak memperdulikan itu, karna ia yang diuntungkan. Tidak akan ada yang bisa mengganggunya lagi, sekalipun ia melakukan hal terburuk kepada Sendu.

Sendu semakin terpuruk, hidupnya yang semula abu-abu kini menjadi hitam pekat, ia tidak bisa melihat cahaya sedikit pun. Lorong yang dulu pernah membawanya pada hal indah, kini kembali lenyap. Ruangnya menipis kian membuatnya terhimpit, tekanan yang ia dapat semakin mendorong untuk Sendu melompat pada jurang kematian.

Menangis dalam kegelapan, sendirian tanpa adanya pertolongan. Ia hanya takut jika suatu hari dirinya sudah lelah, lalu memutuskan untuk melakukan hal liar yang ada di otaknya. Sendu membenci itu, ia memang merindukan sosok ibunya. Namun, ia masih belum mau menyusulnya.

Rintikan hujan siang ini meredam suara tangisannya, ia membolos sekolah untuk melarikan diri ke makam sang Ibunya. Gundukan tanah itu merekam segala sesuatu yang selalu Sendu ceritakan, gadis polos dengan sekujur luka di tubuhnya. Terlihat maupun tidak, luka tetaplah luka yang sakitnya tidak pernah sederhana.

Sebuah payung hitam membuat Sendu tak lagi merasakan kehadiran hujan menguyur tubuhnya, lantas ia mendongak mendapati seorang lelaki dewasa yang ia kenal. Keterkejutan akan kehadiran lelaki tersebut membuat Sendu segera berdiri, berhadapan untuk melontarkan pertanyaan.

HANKER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang