BAB 36

5.1K 320 17
                                    

"Kak, mau sampe kapan kita terus-terusan kayak gini?" Ratih menoleh ke arah Brigas yang tengah duduk di sampingnya.

Brigas menghela nafasnya panjang, lalu ia memilih untuk menyandarkan punggungnya ke tembok. Kini keduanya tengah berada di ruang tunggu, menunggu sang Bunda selesai konsultasi dengan psikolog yang sudah merawat bundanya selama dua tahun belakangan ini.

"Mendingan lo tinggal di rumah Bogor dulu, disana lo bisa tenangin pikiran dulu sampe semuanya benar-benar selesai." Saran Brigas, tatapannya enggan menatap mata sayu adiknya. Ia lebih memilih menatap lurus tembok putih di depan sana.

"Sembuh sendirian? aku gak mau kak, gimana sama kak Brigas? gimana sama Bunda dan Ayah? emang sesusah itu yah buat balik kayak dulu lagi, padahal kan wanita itu udah mati." Rasa amarah didalam diri Ratih belum sembuh sepenuhnya, bahkan rasa kecewa pada sang Ayah masih sangat melekat untuk ia ingat setiap harinya.

Brigas meraih tangan Ratih, lalu ia menggenggamnya dengan erat. Kini ia mengalihkan pandangannya untuk menatap mata Ratih yang sudah basah, entah sudah berapa lama gadis kecil itu menangis tanpa suara isakan.

"Percaya sama gue, semuanya akan gue perbaiki seperti semula. Untuk saat ini, lo pindah dulu ke Bogor yah? gue bakal urus semua surat kepindahan lo, disana bakal lebih nyaman. kalo lo kangen gue, secepat mungkin gue akan datang dan peluk lo." Brigas mencoba untuk meyakinkan adiknya, walau berat rasanya meninggalkan Ratih sendirian untuk tingal di rumah Bogor. Tetapi, keputusan ini adalah hal terbaik untuk Ratih.

Ratih menggeleng, ia enggan menerima semua hal konyol tersebut. Ia tidak bisa meninggalkan banyak hal hanya untuk kebaikannya sendiri, keluarganya masih hancur lebur. Ia tidak mungkin pergi sendirian untuk sembuh, sedangkan keluarganya masih berantakan.

Mungkin saat ini bukan waktu yang tepat untuk membujuk Ratih, lain kali Brigas akan mencoba membujuknya lagi. Melihat tangis Ratih yang semakin pecah, Brigas menarik tubuh Ratih masuk kedalam pelukannya. Mengelus punggung kecil itu dengan lembut, berkali-kali berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Lohh Brigas?" seseorang muncul begitu saja dengan wajah kagetnya.

Pelukan hangat tersebut langsung buyar saat seorang gadis datang, Brigas menatapnya nyalang atas kehadirannya yang tidak terduga. Lalu Brigas memeriksa sekeliling untuk memastikan bahwa gadis tersebut datang sendirian, bagaimana bisa seorang Laura Isyaratama muncul di hadapannya sekarang?

"Wait, jangan bilang kalo ibu-ibu yang lagi konsul itu nyokap lo?"

Brigas hanya bisa bungkam, enggan menjawab pertanyaan Laura. Namun, hal itu membuat Laura menyimpulkan bahwa ucapannya benar.

"Pergi dari hadapan gue!" Tegur Brigas dengan sekali tarikan nafas.

Bukannya pergi, Laura malah duduk di samping Ratih seraya menyilang kan kakinya. "Gak bisa, gue lagi ada perlu sama nyokap."

Mendengar itu membuat Brigas memiringkan kepalanya. "Maksud lo?"

"Nyokap gue itu psikolog yang rawat nyokap lo."

Pernyataan Laura barusan membuat Brigas membulatkan matanya lebar, ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Selama ini ia tidak tahu bahwa Laura adalah anak dari psikolog yang merawat ibunya dua tahun terakhir ini.

"Berarti kakak ini anaknya tante Anggi?" Tanya Ratih dengan mata sayup yang berbinar.

Laura hanya mengangguk untuk membenarkan ucapan Ratih, ia juga tidak menyangka akan bertemu Brigas disini. Bahkan Laura tidak pernah menduga bahwa Brigas adalah anak dari mantan seorang dokter besar yang kini mengalami gangguan kejiwaan, tetapi tidak aneh jika Brigas mempunyai kepribadian yang buruk. Mungkin lelaki tersebut tidak pernah menerima kasih sayang yang tepat dari orang tuanya.

HANKER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang