BAB 17

9.6K 758 32
                                    

"Bunda, kok kakak belum pulang?" Ujar seorang gadis yang tengah berlari kecil menghampiri sang Bunda yang berada di dapur.

Wanita paruh baya itu menoleh. Ia mendapati anak gadisnya dengan raut cemberut. "Sebentar lagi pulang dia." Jawabnya seraya mengelus lembut rambut indah putrinya.

"Padahal aku udah bilang ke dia kalo mau dianterin ke toko buku. Tapi tetep aja pulang telat. Nanti kalo dia dateng, Bunda harus omelin dia yah."

Gadis dengan tampilan hampir mendekati kata sempurna itu merengek. Hoodie oversize berwarna hitam yang ia kenakan membuat tubuhnya tenggelam. Umurnya diperkirakan masih empat belas tahun. Perawakan tinggi sekitar 152 cm. Pipi yang mengembang dan kenyal jika di cubit. Rona pipi yang merah. Bulu mata lentik. Bibir kecil merah jambu. Rambutnya sebahu dengan poni yang disisikan ke dua arah. Serta kulit seputih susu itu tampak kesal karena kakaknya lagi-lagi tidak menepati janji yang telah disepakati.

Ratih Ayodya Bumitala. Anak kedua yang terlahir dikeluarga yang cukup terkenal di kalangan publik. Bundanya seorang dokter di salah satu rumah sakit paling besar yang ada di kotanya. Sedangkan, Ayahnya seorang wakil inspektur polisi yang disegani oleh masyarakat. Dan Ratih memiliki seorang kakak laki-laki yang berparas tampan.

"Iya nanti biar Bunda omelin dia yah." Sang Bunda muncubit pipi Ratih dengan gemas.

"Siapa yang mau diomelin?"

Suara bariton yang berdiri tak jauh dari dapur itu membuat Bunda dan Ratih menoleh pada sumber suara. Seorang lelaki perparas tampan itu tersenyum lebar kepada kedua wanitanya.

Ratih yang awalnya membalas senyuman itu tiba-tiba rautnya menjadi tak bersahabat. "Berantem lagi?" Tanya Ratih ketika melihat lebam kebiruan dan darah kering di dekat bibir kakaknya.

"Brigas, kamu gak bisa diem sehari aja? Kenapa berantem terus sih?" Kata sang Bunda seraya menghampiri Brigas dengan sebuah centong sayur di tangannya.

"Omelin aja Bun omelin." Ratih bersemangat saat sang Bunda melayangkan centong sayur ke arah Brigas. Melihat pergerakan sang Bunda pun Brigas langsung berlari kecil untuk menghindar.

"Bun, ini abis kepentok pintu di markas kok tadi." Elak Brigas yang tengah berlari ke arah Ratih.

"Kamu pikir Bunda bisa dibodohi?! Sini kamu!" Sang Bunda mengejar Brigas.

"Ihh Bunda." Brigas akhirnya berlindung dibalik tubuh Ratih.

"Kak..." Rengek Ratih saat tubuhnya dibuat tameng.

Bunda akhirnya menyerah. Ia duduk di kursi dekat wastafel. "Duduk sini kamu, Brigas." Titahnya menunjuk bangku yang ada dihadapannya.

Brigas menundukkan wajahnya. Ia rasa Bunda kembali kecewa kepadanya hari ini. Brigas duduk di hadapan Bunda diikuti Ratih yang duduk di sampingnya dengan wajah tersenyum mengejek.

"Bunda bilang berapa kali sama kamu? Jangan berantem terus, walaupun kamu laki-laki tapi gak baik sayang." Ujar Bunda menasehati anaknya yang keras kepala.

"Tuhh dengerin." Ratih menyela.

"Iya Bunda." Balas Brigas yang masih menunduk.

Derap langkah seseorang terdengar mendekat. Dalam beberapa detik kemudian terlihat seorang pria paruh baya berjalan memasuki dapur mengenakan seragamnya. "Ada apa lagi ini?" Tanyanya menatap satu persatu orang yang tengah duduk di dapur.

Brigas mendongak. Mendapati sang Ayah yang berdiri tak jauh darinya. Tatapan Brigas menjadi sinis secara tiba-tiba. Kedua tangannya mengepal kuat. Ia memilih berdiri dari duduknya untuk menghindari interaksi dengan sang Ayah.

HANKER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang