BAB 42

3.5K 214 6
                                    

Setelah bel pulang berbunyi beberapa menit yang lalu, Biru tidak langsung keluar dari gedung sekolah. Ia datang ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang pernah ia pinjam, lalu terdiam sebentar disana untuk memastikan sekolahnya sudah sepi. Dua puluh menit berlalu dengan cepat, hiruk pikuk teriakan dari beberapa murid sudah lenyap. Setelah ia mengkonfirmasi sekolah sudah sepi, ia segera keluar dari perpustakaan.

Biru sempat memperhatikan beberapa siswa tengah bermain futsal di lapangan belakang. Sedangkan lapangan depan di pakai untuk bermain basket dan badminton, lalu Biru mendengar suara yang indah nan merdu dari kelas sepuluh IPA 1. Tampaknya kelas tersebut tengah di pakai untuk latihan paduan suara, mengigat aula tengah dilakukan perbaikan.

Di hari Jumat seperti sekarang ini, akan lebih banyak terjadwal ekstrakulikuler. Namun, Biru bisa bebas karna ia tidak memilih untuk mengikuti ekstrakulikuler apapun. Walaupun Dewa pernah mengajaknya untuk mengikuti ekstrakulikuler silat dengan nama organisasi Perisai diri, Biru tidak suka jika harus menghabiskan waktunya untuk hal lain. Sebab waktunya untuk tingal lebih lama di kota ini semakin menipis, selain Sakti yang harus pindah kota. Biru juga sama halnya, ia akan pindah sejauh mungkin saat misi yang tengah ia lakukan telah usai.

Biru menghela nafasnya tajam saat melewati koridor, pasalnya ia melihat Brigas yang tengah bersandar pada pohon mahoni di sebelah koridor. Ia hendak mencari jalan lain dengan lewat gerbang belakang, mungkin itu akan lebih baik daripada harus berpapasan dengan Brigas. Namun, sebuah tangan besar menariknya terlebih dahulu. Biru yang merasa terkejut pun mencoba melepaskan cekalan tersebut, memberontak sebisa mungkin.

"Lepasin bangsat!" Biru mencoba memukul lengan lelaki tersebut.

Biru berhenti memberontak saat lelaki itu menoleh padanya, membuat ia bisa melihat bahwa lelaki tersebut tak lain adalah Dewa. Hingga akhirnya Dewa membawanya masuk ke dalam kelas lelaki tersebut, menutup pintu setelah memastikan tidak ada siapapun diluar.

"Lo apa-apaan sih Wa, tiba-tiba main tarik aja." Keluh Biru dengan wajahnya cemberut.

Dewa duduk di bangku paling depan, lalu disusul Biru yang ikut duduk di samping Dewa.

"Gue mau ngomong beberapa hal sama lo." Ujar Dewa.

Entah kenapa tubuh Biru menjadi menegang, pasokan nafasnya terasa menipis. Degup jantungnya terasa cepat tanpa tau penyebabnya, ia meremas ujung roknya untuk mencoba menenangkan diri.

"Kenapa gak bilang kalo orang tua lo udah meninggal beberapa tahun yang lalu? takut dikasihani?" Pertanyaan Dewa membuat pundak Biru luruh seketika.

"Lo tau darimana?"

"Mama gue kemaren tiba-tiba bahas hal itu, sebelumnya gue bilang kalo lo satu sekolah lagi sama gue. Kata Mama, orang tua lo meninggal karna kebakaran? Ru apa gue kur-" Dewa menghentikan ucapannya saat Biru menunjukkan wajah tak bersahabat.

"Gue gak mau ngomongin hal ini, kejadiannya juga udah lama. Gue gak mau luka lama tiba-tiba dibuka gini, padahal dengan susah payah gue sembuh sendirian." Biru tertawa kecil diakhir kalimatnya.

Dewa menghembuskan nafasnya. "Dari kecil kita temenan, gue juga udah akrab banget sama orang tua lo. Setidaknya lo bilang sama gue."

Biru tidak menjawab ucapan Dewa, gadis itu mencoba menahan air matanya yang hendak turun. Ia tidak suka jika kematian orang tuanya di ungkit, semua itu hanya berusaha membuka luka lama yang sudah hampir mengering.

"Dan gue denger, lo jadi tersangka atas pembakaran rumah serta menjadi tersangka pembunuhan orang tua lo sendiri?"

"Dewa cukup!" Akhirnya kesabaran Biru habis, Dewa sudah melewati batasnya kali ini.

HANKER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang