Pohon mahoni mulai menjatuhkan beberapa daunnya di musim kemarau seperti saat ini, semuanya berjatuhan hingga hampir menutupi permukaan tanah. Semilir angin membawa aroma permen kapas yang berada di pojok taman, membuat Biru tergiur untuk mencobanya. Namun, Biru mengabaikan keinginannya untuk membeli permen kapas tersebut. Ia lebih memilih duduk lesehan di bawah pohon mahoni, hanya beralaskan dedaunan.
Jam menunjukan pukul empat siang, setelah sekolah selesai ia langsung pergi ke taman kota. Hanya sekedar duduk, membawa ice coffe macchiato yang ia beli di cafe depan taman, lalu menyapu pemandangan taman kota yang sering ia kunjungi. Taman kota ini lebih dominan dengan pohon mahoni, sisanya di beberapa sudut tersebar bunga Oleander atau yang biasa disebut dengan bunga Jepun.
Biru bisa menikmati sore nya dengan hikmat disini, beberapa orang juga terlihat duduk di bangku maupun duduk lesehan di bawah pohon mahoni, sama seperti dirinya. Namun, kebanyakan orang datang bersama keluarga, teman, bahkan pasangannya, berbeda dengan Biru yang datang sendirian.
Seragam putih abu-abu yang masih melekat di balut dengan jaket kulit hitam miliknya. Mulai terhanyut oleh suasana sekitarnya, Biru memejamkan matanya, menikmati semilir angin yang menerbangkan anak rambut tak terikat. Semuanya terasa sempurna, sampai akhirnya seseorang duduk di sampingnya.
"Gue kira tadi salah orang, ternyata beneran lo." Suara bariton itu terdengar lembut membuat Biru membuka matanya perlahan.
Biru menoleh pada sumber suara yang duduk disampingnya, tak terasa bahwa kedua sudut bibir Biru terangkat membentuk sebuah senyuman. "Sakti?" sapanya.
Sakti tertawa kecil melihat ekspresi Biru dengan pipi yang mengembang sempurna. "Gue gak nyangka ketemu lo disini."
"Lo kok bisa ada disini sih?" Tanya Biru yang makin penasaran.
"Senggaja sih kesini, tadinya mau nongkrong di cafe depan aja. Tapi tiba-tiba liat bidadari mojok disini, gak mungkin kalo gue gak nyamperin."
Biru tertawa renyah mendengar bualan dari Sakti, obrolan keduanya semakin luas. Entah itu membahas politik dalam ibukota atau sekedar membicarakan beberapa berita iconic yang sedang gempar menjelajah kota. Biru sendiri selalu merasa nyaman saat bersama Sakti, lelaki tersebut terasa hangat, mampu mencairkan suasana, berwibawa, dan juga tegas. Jika di bandingkan Dewa seorang ketua OSIS, rasanya kalah jauh dengan Sakti yang hanya merupakan seorang ketua kelas.
Untuk sementara waktu Biru berpikir bahwa tuhan menciptakan Sakti disaat ia sedang bahagia, maka dari itu rasanya Sakti terlihat begitu sempurna. Dengan parasnya yang tampan, perempuan mana yang tidak akan menjatuhkan hatinya. Mungkin, begitu pula bagi Biru?
"Ohh yah Ru, gue mau bilang sesuatu."
Firasat Biru tiba-tiba menjadi tidak enak, entah apa yang akan di bicarakan oleh Sakti. Namun, Biru merasa bahwa itu bukanlah hal baik. Biru masih diam tak bergeming, netranya menatap dalam pada Sakti. Ia tengah menunggu Sakti merangkai kalimat di dalam benaknya, lalu berbicara pada Biru.
Terdengar hembusan panjang dari bibir Sakti, selanjutnya lelaki itu membalas tatapan mata Biru tak kala dalamnya.
"Gue seneng bisa kenal sama lo, bahkan sedari awal lo menginjakan kaki di kelas kita, memperkenal diri sebagai Biru, lalu menjadikan diri lo sebagai tameng untuk banyak korban yang berjatuhan karna Brigas. Itu semua memukau di mata gue, begitu juga dengan paras lo, lo cantik dengan jadi diri lo sendiri."
Sakti memberi jeda di setiap ucapannya, Biru masih setia menunggu Sakti melanjutkan ucapannya yang mungkin akan menjadi panjang. Tetapi, gadis itu akan setia mendengarkan tanpa beranjak dari tempatnya.
"Sebelum semuanya menjadi terlambat dan lebih jauh lagi, tolong dengerin setiap kalimat yang gue ucapin tanpa menyela sedikit pun." Kembali, Sakti menarik udara penuh dan menyimpannya dalam rongga mulut untuk melanjutkan ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HANKER
Short Story"𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐚𝐦𝐛𝐢𝐬𝐢, 𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐜𝐚𝐫𝐚 𝐬𝐞𝐦𝐞𝐬𝐭𝐚 𝐦𝐞𝐫𝐞𝐬𝐭𝐮𝐢?" -𝓧𝓪𝓿𝓲𝓮𝓮𝓻𝓬𝓪𝓵 ••• Brigas Air Samudra, lelaki dengan paras tampan dan juga kedudukannya yang tinggi. Kebanyakan orang menghindari Brigas, berurusan...