Beberapa menit sudah terlewatkan, bau obat-obatan yang menyengat membuat kepalanya makin pusing dan berat. Biru masih mencoba untuk memantapkan pilihannya, membuka pintu di depannya lalu masuk ke dalam seakan-akan tidak terjadi apa-apa atau memilih untuk membalikkan tubuhnya dan kembali pulang.
Usai mendapatkan pesan dari Ratih beberapa jam yang lalu, Biru membuat sebuah janji kepada gadis tersebut untuk datang menemaninya di rumah sakit. Ratih terus mengeluh betapa khawatirnya ia terhadap kondisi Brigas, apalagi lelaki tersebut terus merengek karna efek dari jahitan di pipinya.
"Aku binggung kak harus apa, kak Brigas dapet lima belas jahitan."
"Kak Brigas juga gak mau makan makanan rumah sakit, aku mau beli makanan tapi kak Brigas gak mau di tinggal sama sekali, dia ngeluh terus kalo pipinya sakit, kata dokter itu hal yang wajar, aku makin binggung kak."
Kata Ratih beberapa jam yang lalu saat berbincang di telpon bersama Biru, jadi lah Biru datang ke rumah sakit dengan menenteng kresek putih yang berisikan makanan. Namun, ia masih ragu dan bimbang, memikirkan banyak kemungkinan yang akan terjadi saat ia masuk ke dalam ruangan.
Brigas masuk ke rumah sakit dan mendapat lima belas jahitan karna ulahnya, tidak mungkin jika sekarang ia masuk ke dalam. Otak Biru rasanya benar-benar tidak bekerja, oleh karna itu ia lebih memilih membalikkan badan untuk berniat pulang dan mengingkari janjinya untuk Ratih beberapa jam yang lalu.
Namun, pintu tiba-tiba terbuka terlebih dahulu sebelum Biru membalikkan badan. Sesosok gadis dengan rambut terurai langsung berhambur memeluknya erat, Biru dapat mendengar sebuah isakan dari dalam pelukannya. Ratih menumpahkan semua ketakutannya yang sedari tadi dipendam.
"Kak Biru kenapa lama? aku takut kak." Ujar Ratih dengan suara yang hampir tercekat.
"Sorry, tadi ada urusan yang gak bisa gue tinggal."
Ratih melepaskan pelukannya dari Biru, lalu keduanya masuk ke dalam ruangan. Terlihat Brigas yang tertidur pulas di atas brankar, suara jam dinding mendominasi ruangan bernuansa putih itu. Terasa senyap, sampai akhirnya Biru duduk di sofa panjang bersama Ratih.
"Lo kenapa sendirian disini? orang tua lo kemana sih sampe lo kelimpungan sendiri jagain Brigas?" Tanya Biru kepada Ratih.
Ratih menghapus jejak air matanya, ia menatap Biru dengan mata sembab. "Setelah tau keadaan kak Brigas, depresi Bunda jadi kumat kak, Bunda teriak-teriak gak jelas di rumah sampe benturin kepalanya beberapa kali ke tembok. Untung aja ayah cepet dateng dan tenangin Bunda, akhirnya Ayah nyuruh aku kesini buat jagain kak Brigas dan Ayah jagain Bunda di rumah."
"Nyokap lo depresi?" Tanya Biru.
Mendengar pertanyaan Biru membuat Ratih tersenyum tipis. "Iya kak, Dua tahun lalu Bunda masuk rumah sakit jiwa. Tapi beberapa bulan lalu dinyatakan sembuh dan dipulangkan, masih masa rawat jalan."
Biru bungkam, ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Perbuatannya meninggalkan banyak kekacauan, ia tidak berfikir sejauh ini. Biru meraup wajahnya, lalu menarik Ratih untuk kembali ke dalam pelukannya. Ratih kembali menangis seperti sebelumnya, pelukan Biru yang menenangkan membuatnya lebih tenang.
"Maaf." Lirih Biru.
~•••~
Jantung Sendu terasa meledak saat melihat sesosok pria dengan jas hitam berdiri di depannya, jarak mereka masih terlampau jauh sekitar dua puluh meter. Tetapi, Sendu dapat mengenali lelaki tersebut. Walau langit mulai menggelap, lampu makam yang sudah usang, jalan setapak yang membawanya pada semesta. Sendu siap untuk melontarkan banyak pertanyaan kepada pria di depan sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
HANKER
Historia Corta"𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐚𝐦𝐛𝐢𝐬𝐢, 𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢𝐦𝐚𝐧𝐚 𝐜𝐚𝐫𝐚 𝐬𝐞𝐦𝐞𝐬𝐭𝐚 𝐦𝐞𝐫𝐞𝐬𝐭𝐮𝐢?" -𝓧𝓪𝓿𝓲𝓮𝓮𝓻𝓬𝓪𝓵 ••• Brigas Air Samudra, lelaki dengan paras tampan dan juga kedudukannya yang tinggi. Kebanyakan orang menghindari Brigas, berurusan...