BAB 41

3.4K 207 9
                                    

Kehidupan itu seperti halnya roda pada delman, semakin besar tarikan kuda maka laju rodanya semakin cepat dan menghabiskan perjalanan dalam waktu singkat. Tetapi arah tujuannya dikendalikan oleh kusir, entah membawanya kemana. Ke tempat yang bagus atau buruk?  Sendu sangat yakin bahwa ia hanyalah seorang penumpang yang menaiki delman, dilema dengan tujuan kusir yang membawanya. Melewati jalanan yang di penuhi bebatuan besar, perjalanannya terombang-ambing. Ada saja rintangan yang menghadangnya mencapai tujuan, tapi kusir tidak pernah menyerah untuk menghentikan delmannya.

Terkadang Sendu berfikir, kenapa lebih banyak hal buruk daripada hal baik datang kepadanya? Apa karna ia hanya seorang anak pelacur yang merusak hubungan rumah tangga orang semasa hidupnya. Menyelipkan Sendu bukan sebagai anugrah melainkan kesalahan yang tak pernah diinginkan untuk ada di dunia. Tetapi kasih sayang yang diberikan oleh ibunya begitu melimpah, hingga Sendu tidak pernah memiliki ruang yang cukup untuk membencinya.

Ia terlalu berantusias saat bertemu ayahnya setelah sekian lama, selalu memohon untuk membawanya pulang ke dalam rumah orang lain yang tidak ia ketahui bagaimana isi dalamnya. Sendu sadar bahwa dirinya terlalu naif, Hendrik bukanlah miliknya. Namun, milik dua orang lain yang juga menyebutnya Ayah.

Sepertinya tuhan tidak akan berhenti memberikan hak buruk kepadanya, ketidaksengajaan satu sekolah dengan salah satu anak dari ayahnya adalah penyiksaan yang tidak ada ujungnya. Ia selalu kesulitan berkat Brigas, seolah-olah rasa bencinya tidak akan lenyap begitu saja.

Sendu cukup tahu bahwa kesalahannya adalah terlahir di dunia, tetapi ia tidak pernah meminta. Lantas, salahkah ia jika ingin bertahan lebih lama?

Sendu tak hentinya merapalkan doa agar seseorang bisa menolongnya dari dalam keterpurukan, lalu seseorang itu datang. Selalu melindungi Sendu kapanpun dan dimanapun, bahkan Sendu mencari-cari alasan akan kebaikan itu. Namun, sendu tidak pernah menemukan jawabannya. Biru, gadis itu sebuah anugrah yang sempurna.

Seakan hari ini adalah hari keterpurukan seperti hari sebelumnya, Sendu terkurung sendirian di dalam Gimnasium yang berada di sebelah gudang sekolah. Ia pikir hal buruk akan segera berakhir, ternyata ia salah karna hari buruknya tetap berjalan tanpa ada jeda.

Tadi, baru sampai di dalam kelas ia sudah disambut oleh Brigas bersama ketiga sahabatnya. Para lelaki itu terlihat begitu menjijikkan, tatapannya nyalang kepada Sendu. Lalu menyeretnya ke Gimnasium yang kosong, jarang sekali murid di sekolah ini menggunakan Gimnasium.

Sendu sudah pasrah ketika Brigas menarik rambutnya dengan kasar tanpa belas kasihan, suaranya tercekat saat sebuah air berwarna merah menguyur tubuhnya. Seragamnya sudah penuh dengan warna merah, bahkan matanya menjadi pedih. Tidak sampai disitu, Brigas menendang lututnya hingga meninggalkan lebam kebiruan. Setelah puas membuat harinya menjadi lebih buruk, keempat pria itu menguncinya sendirian di dalam Gimnasium.

Sialnya, Brigas berhasil membawa ponselnya pergi. Sekarang ia tidak memiliki harapan apapun untuk keluar dengan cepat dari Gimnasium, ia hanya bisa berdoa agar seseorang menyadari keberadaannya.

Sendu menekuk lututnya, meremas ujung rok seragamnya. Lalu hanya bisa meratapi nasib yang begitu mengenaskan. "Tuhan, buat aku bertahan sedikit lebih lama." Lirihnya.

Sudah sekitar dua jam Sendu berdiam diri tanpa melakukan apapun, lalu ia terkejut saat seseorang mencoba membuka pintu Gimnasium yang terkunci. Dalam persekian detik Sendu mendengar pergesekan kunci, selanjutnya pintu terbuka dengan lebar. Ia bisa melihat dengan jelas sesosok lelaki berlari ke arahnya, terpampang jelas wajah khawatirnya.

"Ya tuhan, kamu gapapa?" Tanyanya.

Sendu tidak menjawab, ia hanya bisa mengeluarkan isakan kecil yang disusul oleh tangis. "Rigel, sakit." Keluhnya pada sang kekasih.

HANKER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang