BAB 27

8.2K 623 123
                                    

Pernahkah kalian bayangkan, setegar apa embun yang dibasuh hujan di suatu pagi? Layaknya pagi ini, perjalanan Biru menuju sekolah didampingi oleh aroma tanah yang menyeruak masuk ke indra penciumannya, sungguh menenangkan untuk pikiran dan hati siapapun yang menghirupnya. Tetesan air dari langit itu masih belum punya niatan berhenti membasahi jalanan kota yang padat dan macet disetiap inci jalan utama membuat kesabaran para pengendara mulai meremang.

Kebetulan hari ini Biru berangkat sekolah di antar oleh Sangkar mengunakan mobil. Sendu sudah berangkat lebih awal, bahkan saat Biru bangun sudah tidak bisa menemukan Sendu di manapun. Ternyata Sendu menuliskan secarik kertas yang di letakkan di dekat akuarium Bitty, katanya ia harus piket hari ini. Sedangkan, Handaru baru bisa pulang dari rumah sakit nanti siang.

Biru menoleh pada lelaki yang duduk di sebelahnya seraya fokus dengan jalanan di depan. "Bang, harusnya gak usah repot-repot kejebak macet kayak gini. Tau gini mending gue pake motor."

Sangkar hanya diam, tidak menghiraukan ucapan Biru. Ia masih saja fokus mengamati kemacetan di depannya. Sesekali ia akan melihat jam yang melekat di tangannya. Ia ingin memastikan bahwa perjalanan menuju sekolah Biru tidak memakan banyak waktu, pasalnya ia juga harus pergi ke suatu tempat tanpa terlambat.

Biru menghembuskan nafasnya panjang. Ia menepuk pundak Sangkar membuat sang empu menoleh padanya. "Bang belok depan aja," Biru menunjuk sebuah persimpangan kecil. "Biar gue jalan kaki dari sini, lagian udah deket banget ke sekolah. Selain lo yang lagi kepepet waktu, gue juga gamau telat."

Sangkar masih diam menimang perkataan Biru yang ada benarnya. "Lo gak liat hujan?" Tanyanya Seraya mengalihkan pandangannya pada luar mobil.

"Ihh bang Sangkar, ini macetnya bakal makan banyak waktu. Sedangkan waktu kita sama-sama mepet."

"Lo yakin mau jalan kaki?" Tanya Sangkar meyakinkan.

"Iya, palingan ga sampe sepuluh menit udah sampe sekolah gue." Jawab Biru yang tentu saja bohong.

Sangkar mengambil sesuatu dijok belakang. Ia memberikan Biru sebuah jas hujan berwarna hijau. "Pake dulu, gue gak mau sampe lo demam, bikin repot." Ucap Sangkar.

Biru menerima jas hujan pemberian Sangkar. Dengan segera ia memakainya, jas hujan berwarna hijau itu terlalu besar untuk tubuh Biru membuat gadis tersebut terlihat tenggelam di dalamnya.

~•••~

"Satu bungkus rokok deh pak, gimana?" Tawar Biru yang masih saja diacuhkan oleh pak Joko. Salah satu satpam yang tengah bertugas menjaga gerbang utama.

"Kamu pikir saya akan terima tawaran dari bocah seperti kamu?" Sinis pak Joko menatap tajam pada Biru.

Biru menghela nafasnya panjang. Sudah cukup lama ia bernegosiasi dengan pak Joko. Namun, semua negosiasi itu tidak membuahkan hasil untuk membujuk pak Joko membukakan gerbang untuknya.

"Bisa aja gue balik terus pulang, tapi gue harus masuk ke sekolah." Gerutunya.

Biru memilih untuk menggotak-atik ponselnya. Ia berusaha menghubungi Sendu yang mungkin sudah berada di dalam kelas dan mengikuti mata pelajaran. Namun, dari belasan panggilan tak ada satu pun yang terhubung. Hal itu membuat Biru ingin membanting ponselnya detik itu juga.

"Lo telat juga ternyata?"

Mendengar suara bariton tersebut  membuat Biru menoleh ke belakang. Ia mendapati Brigas yang tengah berdiri di sebelah motornya seraya melipatkan kedua tangan.

"Bisa liat kan?" Sinis Biru.

"Gue kira, lo murid teladan."

Biru menghembuskan nafas. "Lo pikir sendiri aja lah, jalanan macet kayak gitu." Biru mendekat pada motor Brigas. Ia mengubah arah spion Brigas sehingga dapat memantulkan wajahnya di kaca spion tersebut.

HANKER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang