BAB 45

3.9K 232 17
                                    

"Jaman sekarang harus pinter-pinter ngelolah pengeluaran sehari-hari neng, perekonomian makin ngelunjak aja, apalagi taxi kayak saya ini makin dikit peminat karna udah kesaing sama mobil online, itu namanya apa ya? kalo gak salah inget yo-cat?"

"Go-car pak." Ratih membenarkan ucapan sang pengemudi taxi.

Rasa bosan sudah melandanya, kurang lebih setengah jam ia duduk anteng di dalam mobil seraya mendengarkan ocehan supir taxi. Sesekali ia melihat lalu-lalang kendaraan lain dari balik jendela dan memilih mengabaikan ucapan pria paruh baya di depannya.

"Iya itu yang saya maksud, makin susah cari uang. Pemasukan menipis, sedangkan pengeluaran besar-besaran. Neng harus belajar yang bener, supaya kalo besar nanti gak harus banting tulang cari uang."

"Ohh iya, neng dari Bogor sendirian? kenapa gak sama orang tuanya? apalagi malem-malem begini neng mau kemana?" Tanya Supir taxi seraya melirik ke arah Ratih lewat kaca.

"Pak, lagi butuh uang kan?" Ratih melontarkan pertanyaan, alih-alih menjawab pertanyaan yang di berikan supir taxi.

"Jelas atuh neng, siapa yang gak butuh uang? apalagi lagi susah begini."

"Pertigaan depan belok kanan yaa pak."

Setelah berbelok di pertigaan, Ratih masih harus bersabar untuk sampai di tujuan. Sebuah ide brilian tiba-tiba muncul, pikiran yang menguasai kepalanya akan segera ia ledakkan. Ia tidak akan memperdulikan apapun lagi, kebahagiaan keluarganya lebih penting dari apapun.

Ratih masih ingin duduk bersantai di teras rumah sambil menikmati coklat panas bersama Ayah, Ratih masih ingin menemani Bundanya menyiapkan sarapan setiap pagi, Ratih ingin mengingat bagaimana suara tawanya bersama Brigas yang selalu mengisi kekosongan rumah seperti beberapa tahun lalu saat semuanya baik-baik saja.

Bom waktu tidak pernah bisa dijinakkan, tetapi setidaknya Ratih harus mencoba untuk memperbaiki kekacauan. Ratih juga harus mencegah bom waktu lainnya meledak kapan saja, tidak boleh ada kehancuran lain dalam keluarganya.

Dirinya tersiksa, begitu pula dengan Bunda dan Brigas yang masing-masing menyimpan luka. Ratih membenci senyum yang pudar dari bundanya, ia juga benci saat harus tinggal di rumah Bogor tanpa sang Ayah dan Kakaknya. Baginya tidak apa jika mereka harus hancur dalam harta, sekalipun jatuh miskin dan menjadi gelandangan. Namun, Ratih hanya mau melihat keluarganya kembali semula dengan penuh kebahagiaan dan rasa bersyukur karna memiliki satu sama lain.

Ratih menghapus air matanya dengan kasar, rintikan hujan mulai membasahi jalanan kota. Kaca jendela mobil mulai memburam, ia segera mengalihkan pandangannya pada sebuah foto usang di tangannya. Foto yang ia temukan sebelum pergi ke rumah Bogor, foto tiga orang yang sudah menghancurkan keluarganya.

Sudah dua jam berlalu, mobil yang Ratih tumpangi berhenti tepat di tempat yang telah ia arahkan. Terlihat Supir taxi semakin gusar setelah mendengarkan permintaannya, tawaran uang dua puluh juta dari Ratih telah membuatnya luluh. Namun, tugas yang harus ia kerjakan sebagai imbalan tidaklah mudah. Seharusnya Ratih memberinya waktu untuk berfikir lebih jauh, lagi-lagi bayangan uang senilai dua puluh juta yang akan menjadi miliknya membuat pertahanannya runtuh seketika.

"Tapi neng bakal jamin keamanan saya kan?" Tanya supir taxi untuk kesekian kalinya dengan pertanyaan yang sama.

"Aku bakal pastiin, lagian di wilayah ini gak akan ada cctv kok!" Jawab Ratih yang mulai kesal.

Supir taxi tersebut meraup wajahnya dengan gusar, tatapannya menyapu deretan ruko di depan yang mulai tutup. Bahkan jalanan mulai sepi akan pengendara yang melintas, lalu ia kembali melirik Ratih dari kaca mobil.

Ratih memincingkan matanya saat seseorang gadis keluar dari Cafe yang sudah tutup lima menit yang lalu, terlihat hanya tersisa gadis dengan kaus putih itu sendirian. Setelah mengunci Cafe tempatnya bekerja, gadis itu tampak memainkan ponselnya seraya sesekali menoleh ke jalanan yang benar-benar sepi.

HANKER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang