37. Luka dan duka

366 15 0
                                    

Happy Reading
________________________

"Bolehkah aku membenci perpisahan? Sebab setelah adanya perpisahan, selalu ada rindu yang sulit di tenangkan." --Ranikomaraa

***

Reygi membuka pintu kamarnya dengan pelan, mata sendunya menatap sosok balita yang tertidur di kasur empuknya. Ia tersenyum tipis melihat balita yang menggunakan piyama motif kelinci tersebut, lalu menutup kembali pintu kamarnya dengan gerakan pelan.

Rasanya segala rasa penat Reygi hilang begitu saja kala mendapati pemandangan seperti ini, ia yang baru pulang dari cafe Gray untuk memantau keadaan cafe yang di kelolanya ia juga berkumpul dengan teman-temannya disana.

Reygi mendudukkan diri di sisi tempat tidur, tangannya terangkat mengelus pipi chubby Delisa. Satu-satunya obat penenang Reygi itu adalah adiknya, saat ia merasa lelah dengan semuanya tapi ketika melihat wajah Delisa yang tertawa riang, wajah damainya sedang tertidur itu obat sendiri untuk Reygi.

Reygi terkekeh kecil melihat Delisa yang mendekap pigura foto Vina, Mamahnya. Memang akhir-akhir ini Delisa suka sekali mendekap pigura itu ketika tidur biasanya dia hanya melihat saja dan bertanya-tanya namun kali ini katanya sudah sangat rindu. Delisa juga akhir-akhir ini menangis tiba-tiba melihat wajah Mamahnya.

Sejak tiga hari mendapat ucapan putus dari Delia, Reygi frustasi. Ia bisa saja tidak mengindahkan ucapan Delia tapi semakin hari Reygi semakin tidak di anggap oleh Delisa.

Reygi marah, tapi ia juga tidak boleh sampai berbuat kasar itu hanya membuat Delia akan semakin muak padanya.

Dan di saat-saat seperti ini membuat Reygi juga semakin merindukan kehadiran Mamahnya. Vina Mamahnya yang selalu bisa mengerti dirinya, yang selalu bisa menenangkan dirinya dengan ucapan lembut dan sikap bijaknya.

Tapi kini Reygi melihat Mamahnya sebagai sosok lain, yang tidak tentu arah. Bahkan juga tak jarang untuk mencoba mengakhiri hidupnya,
mengingat hal itu kerap membuat Reygi ketakutan sendiri untuk kehilangan Mamahnya.

Bahkan akhir-akhir ini bayang-bayang Mamahnya yang mengakhiri hidupnya itu muncul entah kenapa, dan ia juga banyak bermimpi buruk. Setiap malam Reygi selalu di hantui ketakutan mendalam untuk kehilangan Mamahnya.

"Arghhh, nggak-nggak!"

Reygi menggelengkan kepalanya berulangkali, untuk menepis bayangan buruk yang datang lagi. Ia menjauh dari tempat tidur agar tak mengganggu Delia.

Reygi membuka pintu yang menjadi penghubung antar balkon, cowok itu berdiri di balkon kamarnya dengan kedua tangan menyangga pada pembatas balkon.

Rambut tebalnya sedikit tertiup angin malam, ia memandang pemandangan kota dari atas balkon yang terlihat indah. Ia melirika arloji yang berada di pergelangan tangan kiri, baru menunjukkan pukul tujuh malam.

Didalam lubuk hati paling dalam, Reygi menyimpan ketakutan besar namun ia selalu menyembunyikan ketakutannya. Ia tak pernah bercerita tentang suasana hatinya sekalipun pada Delia. Sebenarnya dirinya hanya ingin pelukan hangat Delia dan bilang semuanya akan baik-baik saja, namun hubungan keduanya tengah di ujung tanduk.

Reygi selalu tertawa lepas, selalu bertingkah jahil. Tapi di balik semuanya itu hanya di jadikan perantara untuk menyembunyikan ketakutan tentang Mamahnya. Ia hanya sosok Reygi yang sangat lemah sejak kepergian Papahnya, dan penyakit kejiwaan Mamahnya.

Baginya, satu-satunya untuk mengatasi ketakutan adalah dengan tertawa lepas dengan apa saja yang lucu dan bertingkah random untuk membuat diri sendiri lupa dengan semua masalah yang terjadi.

HEI, REYGI! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang