42. Kita yang asing

316 11 0
                                    

Happy Reading
_____________________

Kita yang asing dan memilih untuk masing-masing -- Radelia Maheswari

***

Reygi baru saja menutup panggilan telepon dari pihak pengacaranya, Pak Baskoro yang mengabarinya tentang kabar penjatuhan hukuman pada Rani dan Nanang yang menjadi penyebab kecelakaan Papahnya. Keduanya yang mendapat hukuman dua tahun penjara, sebenarnya itu belum cukup memuaskan untuk Reygi. Entahlah rasa bencinya meluap begitu saja.

Cowok itu menutup buku tebal yang baru ia baca untuk persiapan ujian kelulusan, otaknya cukup di kuras karena terbiasa bebas dan sering melanggar aturan sekolah jadinya begini. Namun ia sadar, sudah bukan waktunya lagi untuk main-main. Semakin dewasa kita harus menyiapkan diri untuk kehidupan yang lebih keras lagi.

"Eygi!"

Reygi dengan cepat menoleh pada balita yang berlari kearahnya dengan boneka jari yang terpasang di lima jarinya. Reygi terfokus pada boneka jari yang berada di kelingking Delisa, yang kepalanya sudah patah.

"Delisa, bisa nggak sih nggak usah rusak-rusak mainan gitu?" omel Reygi, pasalnya Delisa sering kali ceroboh dan merusak mainannya.

Delisa mencebikkan bibirnya, ia menunduk menghampiri Reygi yang menatapnya tajam. "Ndak sengaja Eygi ..." gumam Delisa.

Reygi memijit pelipisnya, beralih meraih tubuh mungil itu untuk duduk di pangkuannya. Disaat mengalami stres seperti ini, Reygi juga harus sentiasa sabar menghadapi sikap Delisa yang mulai beranjak besar dan makin penasaran dengan hal-hal disekitarnya.

"Delisa, Eygi kan pernah bilang belajar buat ngejaga barang-barang kamu. Nggak boleh sembarang rusakin, walaupun Eygi punya banyak uang buat beliin harus bisa nge jaga. Oke?"

Reygi berusaha memberi penjelasan untuk Delisa, ia tidak mau menjadikan adiknya itu gadis yang manja yang menyepelekan hal kecil. Bagaimanapun Reygi harus bisa mendidik Delisa dengan baik, ia harus membuat kedua orang tuanya tenang karena meninggalkan Delisa dengan Reygi.

"Oke Eygi, bonekanya di suluh jahit aja ya Eygi. Bial kepalanya bagus lagi!"

Reygi tersenyum tipis sambil mengusap kepala balita itu. "Yaudah sana suruh Bi Ani nge jahit, lain kali mainannya harus bisa di jaga ya!"

Delisa mengangguk cepat, ia langsung turun dari pangkuan Reygi dan berlari keluar kamar untuk mencari Bi Ani.

Reygi menghela napas panjang, ia beralih memegang pigura yang terletak di meja belajar, memandangi dengan lekat kedua orangtuanya yang sudah berbeda alam.

"Eh Reygi udah pulang, sini-sini Mamah buatin keripik jambu buat kamu!"

"Rey, Papah nggak larang kamu buat main tapi jangan sampai kebablasan. Kamu juga harus ingat lah status kamu yang masih pelajar, gimana dong nanti kamu kan anak kebanggaan Papah yang bakal megang perusahaan. Nggak kasihan tuh sama Mamah dapet undangan terus dari pihak sekolah karena kamu jarang masuk."

"Papah nggak marah banget kok sama kamu, karena Papah ngerti ini bagian dari masa remaja. Tapi ada batasannya ya Rey."

Reygi mengusap wajahnya cukup kasar, beberapa potongan kalimat Mamah dan Papahnya itu terlintas. Ia merindukan semuanya, omelan Mamahnya, nasihat Papahnya. Reygi meletakkan kembali pigura tersebut.

HEI, REYGI! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang