Dua puluh satu

963 23 0
                                    

Di dalam kelas, Azkia termenung, menatap lurus kedepan dengan pandangan kosong. Ucapan Zea beberapa saat yang lalu membuatnya terus berpikir, apa mungkin ia sudah terlalu berlebihan terhadap adiknya itu?

Tapi sungguh, ia tak bisa melihat wajah Zea. Baginya, Zea hanyalah parasit di hidupnya. jika saja dulu ibunya tidak membawa anak itu pulang, mungkin saja ia tidak akan seperti ini.

Ayahnya, pria itu selalu sibuk dengan pekerjaannya sampai melupakan kehadirannya. Meskipun begitu, ia tidak bisa menyalahkan ayahnya itu, mau bagaimana pun akar masalah dari semua ini adalah ibunya dan juga adik tirinya.

"Kia, Lo kenapa, sih?" pertanyaan Melodi membuyarkan lamunan Zakia.

Azkia menoleh, gadis itu tersenyum kecil lalu menatap jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah empat. Bel pulang sekolah ternyata sudah berbunyi daritadi tapi ia tidak menyadarinya.

"Gue nggak papa, gue balik duluan ya?" Azkia pergi meninggalkan Melodi dan Kelly yang terdiam. Keduanya bingung, sejak Azkia bertemu dengan adik kelasnya itu, sikap gadis itu terasa aneh.

"Mungkin Azkia lagi ada masalah?" Kelly berusaha menebak.

Melodi mengangguk lesu.
"Iya, kita tunggu aja sampai dia cerita sendiri." Kelly ikut mengangguk, lalu keduanya berjalan keluar kelas.

Azkia melempar pintu yang menghalangi jalannya dengan kasar, kedua mata gadis itu berkaca-kaca dan langsung saja ia berlari menuju kamarnya.

"Kenapa harus gue?" tanya gadis itu di hadapan cermin. Air matanya sudah luruh begitu saja.

"Kenapa harus gue yang jadi anaknya?" pekik Azkia menggerbak meja riasnya.

"Gue benci, gue benci diri gue sendiri. Kenapa gue bisa terlahir di keluarga ini?" Azkia terus bermonolog.

Rasa sakit itu kian menyerang dadanya, perkataan-perkataan dulu ibunya terus berputar diotaknya bagaikan kaset rusak.

Kejadian dulu, terlintas dipikirannya.

"Kenapa gue harus semenderita ini, tuhan?"

"Kenapa dia malah milih anak pungut itu dari pada gue anak kandungnya?"

"Apa gue seburuk itu di mata dia?"

Azkia meluruhkan tubuhnya, ia sudah tidak bisa menahan bobot tubuhnya. Ia meringkuk di atas lantai, memandang lantai dengan tatapan sendu.

"Gue nggak kuat," lirihnya.

Brak!

Tendangan dari arah pintu membuat Azkia terkejut, langsung saja ia menoleh dan mendapati Melodi dan Kelly yang tengah menatapnya.

Melodi dan Kelly lantas berlari kearahnya.

Begitu kedua temannya memeluk tubuhnya, tangisnya kian pecah.

"Nangis sepuas Lo," ucap Melodi sambil mengelus punggung temannya itu. Berusaha menguatkan Azkia.

"Lo kenapa kaya gini, Kia?" tanya Kelly, gadis itu sudah ikut menangis bersama Azkia.

"Lo anggap kita apa?"

"Lo bisa cerita sama kita!"

"Lo nggak seharusnya nyembunyiin semuanya dari kita, kita teman Lo!"

Mendengar itu, Azkia semakin menangis histeris.

Ternyata benar, terkadang orang yang selalu tertawa ternyata menyimpan banyak luka. Tapi ia pandai menyembunyikannya.

Contohnya Azkia.

Melodi menenangkan Azkia, hingga tangis gadis itu kian mereda.

Melodi dan Kelly saling memandang, untung saja mereka berdua tadi mengikuti Azkia.

My Soul Mate { Tamat }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang