"Dia benar-benar mabuk," gumam Devan lalu menancapkan gas menuju rumah Shena.
Eh, tapi tunggu, apa Devan mengetahui rumah Shena.
"Shena rumah kamu dimana?" tanya Devan tapi tak ada jawaban.
Tiba-tiba pelukan erat itu mulai mengendur membuat Devan sadar kalau gadis yang di boncenginya itu malah tertidur. Devan pun berhenti lalu menarik kembali tangan Shena agar memeluknya kembali. Tapi nyatanya itu susah.
Devan pun membuka jaketnya dan mengikat jaket itu ke tubuh Shena dan juga tubuhnya agar Shena tetap aman dan tak akan jatuh.
"Aku harus anter anak ini kemana? Aah, aku telepon saja Langit. Dia mungkin tau," ucap Devan lalu menelpon Langit.
Satu kali panggilan tak ada jawaban, dua kali panggilan masih tak ada jawaban. Devan hanya bisa menghembuskan napas kasar.
Padahal jam baru menunjukan pukul sebelas malam. Tumben sekali Langit tak mengangkat panggilan teleponnya.
Devan pun hanya diam, memikirkan kemana ia akan membawa Shena pulang sedangkan rumah Shena saja ia tak tau.
"Shena! Shena bangun! Rumahmu dimana?" tanya Devan lagi.
Lama berpikir akhirnya Devan mengingat sesuatu, Devan lalu memeriksa tas milik Shena guna mencari handphone milik Shena, namun hasilnya nihil.
Karena tak ada cara lain. Devan pun putar balik ke arah yang berlawanan. Beberapa menit berlalu akhirnya motor Devan berhenti disebuah gedung yang tak besar itu. Ia lalu melepas ikatannya dan menahan tubuh Shena lalu ia turun lebih dulu.
Setelah berhasil turun, Devan pun mengangkat tubu Sehan ke dalam gedung itu.
"Kenapa kamu berat sekali?" gerutu Devan.
Sesampainya di dalam, Devan langsung merebahkan tubuh Shena ke sebuah sofa panjang. Setelah itu Devan langsung beralih duduk di sofa seberang sembari ngos-ngosan.
"Aah, maaf karena aku gak anter kamu pulang ke rumah kamu, karena aku gak tau. Dan malam ini aku harus temani kamu di markas ini," kesal Devan.
Ya, Devan membawa Shena ke markas BT karena ia tak ada cara lain. Tak mungkin jika Devan membawa Shena ke rumahnya. Orang tuanya pasti akan memukul Devan nanti.
****
Minggu yang cerah. Pagi ini seakan dunia terasa baru, Bulan yang sudah dari subuh bangun pun sedang memasak di dapur membantu Zaiya. Namun, kali ini Bulan lebih berperan dalam memasak karena Zaiya masih kurang enak bada karena ngidam.Sedangkan Abi, sudah berangkat pagi sekali ke kantor, dan Langit, dia masih tidur karena setelah sholat subuh dia kembali tidur.
Tak butuh waktu lama, kini makanan sudah siap di atas meja. Zaiya pun menyuruh Zaiya untuk duduk saja. Nanti Bulan yang akan menyiapkan apa yang masih kurang.
Bulan yang melihat kekurangan gelas, ia langsung beralih mengambil gelas. Setelah semua selesai Bulan pun pamit kepada Zaiya untuk membangunkan Langit.
"Ayo, mari berperan sebagai istri sungguhan. Agar Langit bisa jatuh cinta sama kamu, Bulan," ucap Bulan menyemangati dirinya.
Bulan pun memasuki kamar dan mendapatkan suaminya sedang tidur dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Perlahan Bulan membuka selimut itu. B1b1rnya tersenyum manis melihat wajah Langit yang benar-benar tampan.
"Langit!" panggil Bulan selembut mungkin.
Langit hanya menggeliat lalu merubah posisi tidurnya. Aah wajah Langit benar-benar terlihat lucu. Bulan terkejut lalu kembali mengguncang tangan Langit pelan.
"Lang ...." Belum selesai Bulan memanggil nama Langit.
Tiba-tiba Langit langsung menarik Bulan yang membuat Bulan langsung jatuh di atas Langit. Bulan membulatkan matanya, ia lalu berusaha bangkit, namun Langit malah menahannya.
"L-Langit ayo makan," ucap Bulan gelagapan.
"Kenapa jantung kamu berdetak cepat, apa kamu habis olahraga?" tanya Langit tanpa membuka matanya.
Langit benar-benar tak peka sama sekali. Bukan hanya jantung yang berdetak cepat, tapi wajah Bulan juga sudah memerah. Ia merasa tak nyaman dengan posisi ini.
Perlahan Langit membuka matanya, ia sedikit terkekeh melihat wajah Bulan.
"Hmm, ternyata kamu benar-benar cantik," ucap Langit lalu mendekatkan wajahnya ke arah Bulan lalu menge*cup singkat hidung Bulan.
Bulan yang terkejut dengan perlakuan Langit pun langsung bangkit dan langsung berjalan menuju pintu.
"Katanya kamu bakalan bantu aku biar bisa jatuh cinta sama kamu. Kenapa kamu malah pergi? Seharusnya kamu harus lakukan hal romantis biar aku bisa jatuh cinta sama kamu, Bulan," ucap Langit sedikit menantang dan tentu saja ada senyum jahil di b1b1r Langit.
"Harus gitu ya?" tanya Bulan menatap wajah Langit dengan polosnya.
Langit hanya mengangguk menunjukkan wajah keseriusannya. Bulan hanya bisa menelan salivanya susah paya.
"Caranya gimana?" tanya Bulan lagi.
Langit pun terkekeh lalu menunjuk b1b1rnya. "Ci*um." Satu kata itu membuat Bulan melotot tak percaya.
Mana mungkin Bulan melakukan itu. Sangat tidak masuk akal menurut Bulan.
"Gak boleh, dosa," gerutu Bulan.
"Dosa dari mana? Malahan ini buat kita mendapatkan pahala loh," balas Langit.
Bulan tau itu, tapi apakah harus. Bulan memang ingin Langit jatuh cinta padanya tapi bukan dengan cara seperti itu. Itu sangat menggelikan.
"Mandi sana. Kasian Mama udah nunggu dari tadi di dapur. Cepat mandi trus langsung ke dapur, makan," ujar Bulan secepat kilat lalu keluar tanpa izin dari Langit.
"Seru juga jahilin istri," kekeh Langit lalu memilih untuk membersihkan dirinya.
***
Disisi lain kota. Seorang gadis baru saja membuka matanya, ia memegang kepalanya yang terasa sakit serta tenggorokannya yang terasa kering. Mata gadis itu menyapu setiap isi ruangan."Aku dimana?" tanyanya pada diri sendiri.
Ketika hendak berdiri, gadis itu dikejutkan dengan pemandangan yang baru saja ia lihat.
"K-kak Devan?" ucapnya lirih.
Ya, gadis itu adalah Shena. Ia terkejut melihat Devan yang telan*jang dada. Cepat-cepat Sehan menutup matanya menggunakan tangan. Devan yang menyadari itu langsung kembali masuk ke dalam kamar mandi.
Devan tak berniat untuk berpenampilan seperti itu. Hanya saja, tubuhnya tadi sudah terasa lengket karena belum mandi. Dan ketika hendak memakai pakaian di kamar mandir yang memang sudah tersedia di markas, tiba-tiba bajunya tak sengaja jatuh dan tentu saja basah. Alhasil Devan harus menjemurnya terlebih dahulu karena di markas tak ada pengering.
Sedangkan Shena kini membuka tangan yang menutupi wajahnya kemudian sesuatu menarik kefokusan Shena. Shena lalu menatap baju yang ia kenakan.
"Ini bukan baju Shena yang semalam," gumam Shena.
Ceklek!
Pintu kamar mandi telah terbuka dan Devan masih belum memakai pakaian.
"Maaf karena aku gak pake baju. Soalnya bajuku basah," ujar Devan.
"B-baju aku kemana?" tanya Shena gugup.
"Hmm ... maaf, semalam kamu muntah dan baju kamu kotor jadi ... aku mengganti baju kamu," jawab Devan sedikit tak enak hati.
"Hah? Jadi kak Devan liat aku tanpa ...," ucap Shena dengan mata melotot dan tangan yang ia gunakan untuk menutup tubuhnya yang tentu saja sudah memakai jaket Devan.
"Jangan berpikir yang aneh-aneh, aku gak lihat dan aku menutup mata," balas Devan yang mengerti dengan jalan pikiran Shena.
Shena lalu bernapas lega. Tapi tiba-tiba terdengar pintu markas terbuka. Keduanya menoleh sedangkan yang bru masuk terkejut bukan main karena melihat Devan tanpa pakaian dan Shena yang menggunakan jaket milik Devan.
"Kalian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Diantara Bulan dan Langit
Teen Fiction"Mungkin kamu tak akan melirikku walaupun sesaat. Tetapi setidaknya, jangan kamu tunjukkan sesuatu yang membuatku sakit" ~ Bulan Aisyah Willano