Bab 46

8 4 0
                                    

Bulan dan Langit baru saja sampai di rumah setelah menyelesaikan masalah Shena dan Devan. Awalnya Mama Shena benar-benar marah besar kepada Devan dan sampai memukulnya tapi Devan hanya diam, membiarkan tubuh lemahnya itu di pukuli oleh wanita yang selama ini menjaga Shena.

"Kamu masih mikir tentang kejadian tadi?" tanya Bulan lembut dan langsung di balas anggukan oleh Langit.

Bulan hanya menghembuskan napas lalu mengajak Langit untuk masuk ke dalam rumah. Disana mereka disambut dengan tatapan bingung dari Abi dan Zaiya.

"Loh, kalian udah pulang? Bukannya mau liburan sampai tiga hari?" tanya Zaiya bingung.

"Gak jadi, ma. Gak seru liburan bareng temen, gak bisa berduaan sama istri," celetuk Langit yang refleks mendapat pukulan kecil dari Bulan.

"Huuh, dasar kamu ya, sama kayak tua bangka ini," balas Zaiya jutek sembari melirik sinis pada Abi.

Abi yang dikatakan tua bangka tak terima. Toh, disini yang lebih tua siapa?

"Loh, kok sayang ngomong gitu. Kan kamu sendiri yang lebih tua dari aku. Kalau aku tua bangka, kamu apa?" tanya Abi dengan wajah polosnya, membuat Zaiya kesal bukan main.

Langit yang melihat itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Apa begini sikap bumil? Selalu saja terbawa emosi disetiap percakapan.

"Jadi, maksud kamu, aku udah tua gitu?" Bukan menjawab, Zaiya malah balik bertanya dengan nada yang sedikit tinggi.

"B-bukan gitu sayang, ak ...."

"Udah ah. Kamu udah gak sayang sama aku," ucap Zaiya dengan sudut b1b1r yang tiba-tiba melengkung kebawah dan sedikit bergetar.

"Loh, aku cuma bercanda sayang," titah Abi, berusaha menenangkan Zaiya yang mungkin saja akan melepaskan tangisnya.

Abi langsung memeluk tubuh sang istri lalu mengusap-usap punggungnya dengan penuh kasih sayang.

"Lan, lebih baik kita pergi aja, males disini ... terlalu bucin," sindir Langit lalu pergi menarik tangan Bulan.

Zaiya dan Abi sontak melepas pelukan mereka karena suasana romantis ini, membuat kedua orang tua itu lupa akan keberadaan sang anak dan mantunya.

.....

Bulan kini tengah mengaji setelah melaksanakan sholat Isya sendiri karena Langit memilih sholat di masjid. Setelah menyelesaikan mengaji, Bulan pun melepas mukenanya dan membereskan alat sholatnya ke tempat semula.

"Assalamu'alaikum!" ucap Langit yang baru saja datang.

"Wa'alaikumussalam!"

Bulan langsung menghampiri Langit lalu menyalimi tangannya. Setelah itu mengambil peci yang Langit pegang lalu menata kembali pada tempatnya.

Setelah Langit sudah berganti pakaian, tanpa aba-aba Langit langsung memeluk Bulan yang sementara menyisir rambutnya didepan cermin. Bulan hanya membiarkannya, ia juga sudah terbiasa dengan sikap manja dari Langit.

Tiba-tiba, Langit menge*cup tengkuk Bulan membuat Bulan tersentak kaget lalu menatap bayangannya yang dimana Langit yang malah dengan liar menge*cup leher kirinya yang terpampang tanpa sehelai rambut.

"Lang!" tegur Bulan.

Ingin menolak tapi takut jika Langit marah, tak menolak tapi dia masih belum siap. Tiba-tiba Langit membalikan tubuh Bulan menghadap Langit. Mata keduanya beradu cukup lama, seakan memberi isyarat bahwa cinta mereka berdua tak main-main.

Langit langsung mendekati wajah Bulan dan menyerang b1b1r Bulan dengan b1b1rnya. Menempelkan cukup lama lalu ia bergerak dengan perlahan, membuat Bulan merasa seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di hatinya. Jantungnya berdetak cukup kencang.

Hal ini sudah pernah ia lakukan dengan Langit sewaktu awal pertama ia bisa melihat, tapi waktu itu, Langit tak sadar dan menyerangnya cukup kasar, tapi kali ini sangatlah berbeda dan membuat Bulan ingin merasakannya terus.

Beberapa detik akhirnya Langit menjauhkan wajahnya, ia juga tersenyum manis ke arah Bulan.

"Boleh ya?" tanya Langit dengan tangan kanan yang memperbaiki anak rambut Bulan yang sempat menghalangi wajahnya.

Bulan mengangguk malu-malu, hal itu membuat Langit gemes dan ingin menerkamnya sekarang juga.

"Sholat Sunnah dulu," lanjut Langit dan lagi-lagi Bulan mengangguk.

****

"Bulan!"

Bulan menggeliat karena terusik karena Langit menusuk-nusuk tangannya pada pipi mulus milik Bulan.

"Hmm," balas Bulan karena masih merasa mengantuk dan juga ... lelah.

"Bangun, Lan. Udah subuh, gak baik loh kalo gak sholat."

Bulan pun membuka matanya karena Langit terus saja mengusik tidurnya. Ia benar-benar lelah dan mungkin saja baru dua jam ia bisa tidur nyenyak karena ulah Langit. Bulan pun memilih bangkit, namun ....

"Awwsss!" ringis Bulan karena merasakan sesuatu yang begitu sakit di bawah sana. Ia seakan tak sanggup untuk berjalan.

Matanya sedikit berkaca-kaca sembari menatap Langit. Langit pun bingung, ini adalah pengalaman pertamanya dan tak tahu harus berbuat apa. Tidak mungkin jika dia mengatakan hal pribadi ini kepada orang tuanya, bisa malu nanti.

"Aku gendong ya?" ucap Langit lalu menggendong Bulan menuju kamar mandi untuk  melaksanakan mandi junub karena setelah melakukan itu, Bulan tak sempat mandi karena rasa lelahnya dan memilih tidur.

Bulan kini merona kala mengingat kejadian semalam. Hah Bulan benar-benar ingin menghilang dari muka bumi.

****

Pagi telah tiba, disebuah rumah dengan nuansa biru terang itu, terlihat seorang wanita dengan anaknya sedang berkutat di dapur. Siapa lagi kalau bukan Laila dan Fatimah.

"Kamu gak sekolah, nak?" tanya Laila pada Fatimah.

"Loh, umi gak tau? Fatimah kan baru selesai ujian tengah semester, ya Fatimah libur dua Minggu," jawab Fatimah dengan tangan yang masih fokus memotong-motong bawang.

"Ooh iya, maaf ya karena Umi lupa," cicit Laila yang dibalas senyum manis dari Fatimah.

"Umi, gimana tentang lamaran Kak Sastya? Umi terima?" tanya Fatimah dengan senyuman.

Tak tahu jika di dalam hati Fatimah kini merasa sedih. Ia berharap jika Umi menolaknya tapi di sisi lain, ia tak tega melihat Uminya menyendiri terus tanpa pasangan yang mau menerima keluh kesahnya.

"Umi masih memikirkannya lagi," jawab Laila dengan wajah lesu.

....
Setelah sarapan Laila memberitahu Fatimah untuk istirahat dan Laila langsung pergi. Bukan beristirahat, Fatimah malah mengikuti langkah Laila secara diam-diam, sampai akhirnya Laila masuk ke dalam kamarnya.

Beruntung Laila tak menguncinya yang membuat Fatimah bisa masuk atau sedikit mengintip mungkin.

"Mas, maaf karena hatiku dengan lancang mencintai laki-laki lain."

Fatimah terdiam mendengar ucapan sang Umi.

"Selama ini, banyak yang melamar aku. Tapi aku menolaknya karena masih mencintai kamu, dan saat ini masih tetap sama, namun ada hati lain yang juga membuat aku merasa bimbang untuk menolak. Dia telah melamar aku, mas ... apa yang harus aku lakukan?" tanya Laila semabri memandang foto almarhum suaminya.

Fatimah semakin merasa bersalah karena buka mendoakan yang terbaik untuk Uminya, dia malah berdoa agar Uminya dan Sastya tidak berjodoh. Padahal hal itu, membuat Uminya menderita.

Fatimah meneteskan air matanya, tak tega melihat Uminya yang seperti itu. Berbicara dengan Aba yang sudah tak ada lagi di dunia ini.

"Bismillah, apapun pilihan Umi. Fatimah dukung. Ya Allah, jika kak Sastya jodoh Umi, maka persatukanlah mereka," gumam Fatimah dalam hati.

Diantara Bulan dan LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang