Semua mata pelajaran telah selesai, Langit kini mendudukkan dirinya di atas motornya tepatnya di parkiran sekolah. Ia seakan tengah menunggu seseorang yang akan pulang bersamanya. Matanya terus menatap ke arah lorong di sebelah jalan sana.
"Tumben, sudah lima hari Bulan gak kelihatan," gumam Langit karena sebelum kepergian Lia, Bulan terkadang berjalan ke arah warung, entah itu keinginannya sendiri atau sekedar menghirup udara luar.
"Lang, lo ngapain belum pulang?" tanya Sastya yang sekarang baru saja memakai helm.
"Gue lagi nungguin Lia," jawab Langit tersenyum.
Raut wajah Sastya yang tadinya biasa saja kini menjadi datar. Ia menghela napas pelan lalu turun kembali dari motornya dan menghampiri Langit.
"Gak jadi pulang, lo?" tanya Langit bingung.
"Sadar, Lang. Lia udah gak ada," ucap Sastya sembari menepuk pundak Langit.
Kata Langit, dia sudah mengikhlaskan, namun, nyatanya ia masih belum mengikhlaskan kepergian Lia.
Mendengar dari penuturan Sastya membuat Langit langsung terdiam. Ia sadar jika disini dia salah. Dia seharusnya mengikhlaskan Lia.
"Gue balik!" ucap Langit langsung pergi begitu saja, meninggalkan Sastya yang hanya bisa melihat kepergian Langit.
Langit kini tengah merutuki dirinya yang masih tak bisa mengikhlaskan Lia. Tapi, bukankah mengikhlaskan itu bukan hal yang mudah bukan?
Langit kini melajukan motornya di atas rata-rata. Membela jalanan yang nampak sepi. Menit-menit berlalu akhirnya Langit memberhentikan motornya.
Ia terdiam sejenak lalu mengangkat pandangannya.
"Kenapa gue harus kesini, Lia?" gumam Langit yang ternyata tak sengaja berhenti di depan rumah Lia.
Perlahan ia turun dari motor dan melangkah memasuki pekarangan rumah Lia. Sesampainya di pintu rumah, Langit ingin mengetuk pintu. Namun, tanpa sengaja Langit bisa mendengar percakapan Mama dan juga Papa Lia yang sedang duduk diruang tamu itu.
"Semoga anak itu bisa melihat kembali," ujar Mama Lia.
"Papa bangga punya anak seperti Lia, yang mau mendonorkan matanya kepada gadis itu. Keputusan Lia ini, semoga bisa memberikan kebaikan buat gadis itu," balas Papa Lia.
Langit yang mendengar itu, merasa begitu terkejut. Ia sedikit tak rela jika organ kekasihnya itu harus diberikan kepada gadis lain. Ia seakan tak mau jika ada sesuatu yang menyangkut Lia di berikan kepada orang lain. Langit mau, hanya Lia seorang yang memiliki mata indah itu.
"Assalamu'alaikum!" ucap Langit sembari mengetuk pintu.
"Wa'alaikumussalam!" Pintu rumah pun terbuka dan menampakkan wanita paruh baya yang tak lain adalah Mama Lia.
"Langit?"
"Iya, ini Langit," jawab Langit sembari tersenyum.
"Ayo masuk!" ajak Mama Lia.
Langit pun masuk dan duduk bergabung dengan keluarga Lia.
"Kenapa kamu kemari, nak?"
"Langit gak tau, tapi Langit pengen aja kemari ... Trus apa benar kalo Lia donorin matanya buat seseorang?" tanya Langit yang membuat Mama dan Papa Lia saling berpandangan.
"Iya," jawab Mama Lia sembari mengangguk kaku.
Langit menghela napas panjang. Ingin sekali dia marah, tapi dia tak memiliki hak untuk itu. Kalau saja ia tau dari awal, dia pasti sudah melarang Lia melakukan itu. Dia tidak mau apa yang ada dalam diri Lia diberikan kepada orang lain. Milik Lia hanya milik Lia. Tak mau jika orang lain memilikinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/335902579-288-k328621.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Diantara Bulan dan Langit
Genç Kurgu"Mungkin kamu tak akan melirikku walaupun sesaat. Tetapi setidaknya, jangan kamu tunjukkan sesuatu yang membuatku sakit" ~ Bulan Aisyah Willano