Bab 3 ~ Pulang

14 9 0
                                    

Suara kumandang adzan terdengar begitu merdu disetiap telinga yang dapat mendengarnya. Bulan kini terbangun dari tidurnya. Ia hendak melaksanakan sholat, namun, terhalang oleh indera penglihatan.

Sebenarnya, kekurangan yang Bulan dapat ini bukanlah masalah besar. Tapi ia tak enak untuk mengganggu tuan rumah. Bulan dengan perlahan menuruni ranjang dan mencari tongkat yang sudah beberapa hari menjadi teman ketika ia berjalan.

Setelah menemukan tongkat itu, Bulan pun memilih untuk keluar dari kamar. Setelah keluar, bukan meneruskan jalannya, Bulan kini tengah berpikir keras tentang arah perginya.

"Ngapain didepan pintu? Lo gak tidur?" Suara bariton itu membuat Bulan terlonjak dan hampir saja jatuh.

"Emm a-aku m-mau ...."

"Mau apa?" tanya Langit jutek.

"A-aku mau sholat, tapi gak tau gimana. Berwudhu gak tau jalan lewat mana, dan aku gak punya mukenah," jawab Bulan.

Langit menghembuskan napas lalu pergi tanpa menanggapi ucapan Bulan. Mendengar langkah kaki Langit yang menjauh, Bulan pun hanya menghela napas pasrah.

Bulan pun memilih untuk berbalik dan masuk kembali ke dalam kamar. Ia berbaring, matanya terbuka tapi ia hanya bisa melihat kegelapan.

"Ya Allah, sampai kapan Bulan harus bertahan dengan mata yang seperti ini?" gumam Bulan.

Tok! Tok!

Bulan yang mendengar ketukan pintu pun langsung bangkit dari pembaringannya. Belum langsung membuka pintu, Bulan diam beberapa saat untuk memastikan, apa ketukan pintu itu tepat di pintu kamarnya atau di pintu kamar Langit yang tepat berada disampingnya.

Setelah beberapa detik fokus akhirnya Bulan pun membuka pintu.

"Ini mukenanya."

Bulan pun tersenyum bahagia, tapi kemudian wajahnya kembali kusut membuat Langit mengernyit bingung.

"Kenapa?"

"Wudhu nya dibagian mana? Kanan aku, kiri aku atau didepan?" tanya Bulan bingung.

Langit pun berpikir, bagaimana agar ia bisa membantu Bulan tanpa menyentuhnya. Mata langit terus saja berkeliaran menatap seisi rumah yang ada disekitar mereka.

"Eh eh!" Protes Bulan kala merasa tongkatnya terangkat.

"Diam! Tetap pegang tongkat lo, gue bakalan tuntun lo ke tempat wudhu," balas Langit sembari menarik ujung tongkat Bulan.

Bulan pun melangkah mengikuti tarikan tongkatnya itu.

"Disini!" kata Langit lalu menyalakan keran air.

Bulan pun melangkah sedikit maju lalu berwudhu. Setelah selesai Langit kembali menarik tongkat Bulan. Sesampainya di kamar, Langit pun mempersiapkan sajadah untuk Bulan. Setelah selesai merapikan sajadah, Langit mendengus sebal kala melihat Bulan yang terbalik memakai mukena.

Langit lalu mendekat dan melepas tali mukena dan memperbaikinya tanpa menyentuh kulit Bulan. Langit hanya sekedar memutar mukena Bulan.

"Sudah, sekarang lo hadap kiri dan itu adalah kiblat," jelas Langit.

"Makasih," kata Bulan.

Langit tak menjawab, ia hanya langsung pergi meninggalkan Bulan yang sedang melakukan sholat subuh.

Sedangkan Zaiya dan Abi, sedari tadi telah melihat interaksi antara keduanya. Zaiya lalu menoleh ke arah Abi. Seakan mengerti dengan tatapan sang Istri, Abi pun menggeleng.

"Mau aja ya, sayang?" mohon Zaiya.

"Gak boleh ... Langit masih sekolah, gak boleh nikah muda, nanti hanya buat dia sengsara saja," balas Abi yang tanpa sadari ia menyinggung tentang pernikahan mereka. Apalagi Zaiya yang lebih tua tiga tahun darinya.

Diantara Bulan dan LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang