Bab 32

13 7 3
                                    

Kini Langit sudah berada di rumah karena dirinya yang meminta pulang, dia tak mau menginap di rumah sakit. Sekarang posisi Langit tengah berbaring di kamarnya yang ditemani Bulan.

"Langit aku keluar dulu ya? Mau bantu Mama," ucap Bulan, namun tak diizinkan oleh Langit.

"Gak usah, disini aja temani aku," balas Langit yang membuat Bulan menghela napas.

"Lang, kasihan Mama kerja sendiri di dapur."

"Sebelum ada kamu, mama selalu sendiri," balas Langit tak mau kalah.

"Langit!" tegur Bulan.

"Iya sayang," balasnya.

Hah, Langit benar-benar sudah tak waras. Tidak mungkin Bulan tak membantu mertuanya untuk pekerjaan rumah. Karena masih terus tak di beri izin. Bulan pun mendapat ide jahil, dia lalu mendekat ke arah Langit yang tentu saja membuat Langit terkejut.

Namun, didetik berikutnya, Langit tersenyum smirk dan kemudian mendekat secara tiba-tiba, alhasil b1b1r mereka bersentuhan. Bulan langsung membolakan matanya dan menampar wajah Langit lalu meninggalkan Langit yang meringis karena Bulan memukulnya tepat pada lebam yang ada diwajahnya.

"BULAN!" teriak Langit tapi Bulan tak menghiraukan.

***
"Mama masak apa?" tanya Bulan.

"Tumis sayur ... oh ya, kenapa Langit teriak?" tanya Zaiya heran.

"Bukan apa-apa, Ma."

Zaiya tak menanyakan lagi, walaupun Langit adalah anak Zaiya, tetap saja Zaiya tak bisa ikut campur dengan urusan keluarga kecil anaknya.

"Papa kapan pulang?" tanya Bulan sembari mengatur Pring di meja makan.

"Mungkin sekitar jam sepuluhan," jawab Zaiya.

Zaiya meletakkan masakannya yang sudah masak itu di meja makan. Zaiya yang melihat Bulan meminum jus, tiba-tiba merasa sesuatu yang aneh. Perutnya terasa mual, dan sepertinya ingin mengeluarkan makanan yang ada didalam perutnya.

Karena sudah tak mampu menahannya, Zaiya langsung berlari ke wastafel dan muntah begitu saja.

"Huuekk! Hueekk!"

"Mama!" pekik Bulan lalu menyusul Zaiya. Ia kemudian mengusap-usap punggung Zaiya guna menetralkan rasa mual Zaiya.

"Mama gak pa-pa?"

"Iya, Mama gak pa-pa, tolong jauhkan jus itu dari sana. Mama gak mau lihat," balas Zaiya dengan mata yang tertutup tak mau melihat jus yang Bulan minum.

Bulan menatap lebih dulu jus itu, lalu mengambilnya dan membuangnya begitu saja.

"Mama gak suka jus?" tanya Bulan bingung.

"Mama suka, cuma gak tau kenapa mama merasa mual kalau melihat Jus. Bukan cuma sekarang tapi dari beberapa hari lalu," jelas Zaiya yang membuat Bulan semakin heran.

****
Makan malam telah selesai dan Bulan pun duduk disamping Langit yang ternyata merajuk kepadanya.

"Kamu marah?" tanya Bulan tapi tak mendapatkan respon dari Langit.

"Langit!" panggil Bulan tapi Langit masih kekeuh untuk mendiami Bulan.

Karena Bulan merasa bersalah dia pun menangkup wajah Langit kemudian mengusapnya pelan. Entah kenapa Langit merasa nyaman, matanya pun terpejam merasakan halusnya tangan Bulan.

Langit lalu memegang tangan Bulan dan melepaskan dari pipinya. "Bulan, kalo aku minta hakku, apa kamu akan memberikannya?" tanya Langit tiba-tiba yang membuat Bulan terdiam.

Jantungnya berdetak begitu kencang, kenapa Langit menanyakan hal yang seperti ini? Seharunya dia mengubur dulu angan-angannya itu apalagi mereka masih sekolah.

"I-iya, tapi gak sekarang," jawab Bulan gugup.

Tiba-tiba Langit langsung tertawa kencang, membuat Bulan mengernyit bingung.

"Aku bercanda. Aku gak akan meminta hakku, apa lagi kita masih sekolah," ucap Langit sembari mengacak rambut Bulan lalu meng3cup pipi Bulan secara singkat.

"Kamu lucu!" ucap Langit yang membuat Bulan semakin merona.

......

Lama saling diam, Bulan pun kembali mengingat tentang Zaiya yang tadi mengalami mual tiba-tiba ketika melihat Bulan meminum jus.

"Langit, tadi Mama muntah loh. Matanya gak mau lihat jus," ujar Bulan yang tentu saja mendapat tatapan bingung dari Langit.

"Beneran? Kenapa begitu?" tanya Langit.

"Aku juga gak tau pasti. Apa mungkin Mama ham1l?" ucap Bulan yang membuat Langit melebarkan matanya.

"Gak mungkin ... masa aku udah punya istri, Mama ham1l lagi," gerutuh Langit karena tak terima.

Bayangkan saja, Langit sudah SMA dan harus menjaga anak kecil. Pasti orang-orang mengira jika dirinya adalah Papa mudah dan bagaimana jika mereka berjalan bersama Bulan, sudah pasti orang-orang salah paham.

"Kan cuma perkiraan aku aja, Lang," balas Bulan.

"BULAN!"

Bulan dan Langit saling menoleh mendengar panggilan dari Zaiya.

"Iya, Ma," jawab Bulan. "Aku nemuin Mama dulu," sambung Bulan.

Bulan pun pergi meninggalkan Langit yang hanya diam menatap kepergian Bulan. Setelah kepergian Bulan, Langit pun kembali terdiam. Wajahnya terlihat sedih.

Langit lalu membuka laci meja yang ada disamping tempat tidur dan mengambil sebuah bingkai foto. Tiba-tiba air matanya menetes begitu saja.

"Lia, aku rindu sama kamu," ucap Langit lirih.

"Sampe sekarang aku masih belum bisa lupain kamu!"

Isakan terdengar begitu saja dari b1b1r Langit. Memori tentang Lia berputar kembali diingatkannya. Tak tahu harus bagaimana agar ingatan itu tak membuatnya lemah.

Jika orang mengatakan, 'ikhlaskan saja, untuk apa mengingat orang yang sudah tak ada di dunia ini' ... Tapi nyatanya tak semudah itu. Mengikhlaskan mungkin bisa, tapi melupakan itu tak akan bisa, kecuali Langit mengalami amnesia, itu saja belum tentu menghilangkan perasaannya terhadap Lia.

****
Disisi lain kota, Sastya terlihat frustasi, karena mengingat hal tadi. Apa Laila akan menjauhinya setelah ini?

Tok! Tok! Tok!

Sastya mengangkat pandangannya mendengar itu. Dengan malas ia berjalan membuja pintu, setelah pintu terbuka mata Sastya melotot, jantungnya pun ikut berdisko didalam sana.

"M-mbak Laila!"

Laila tersenyum canggung. "Ada Mama kamu, Tya?" tanya Laila.

"Di dalam," jawab Sastya lalu mempersilahkan Laila untuk masuk.

"Aakhh bisa g1la gue," gerutuh Sastya ketika Laila sudah masuk ke dalam.

Karena tak mau bertemu dengan Laila, Sastya pun memutuskan untuk kerumah Langit yang katanya sudah pulang dari rumah sakit.

Setelah sampai disana, Langit merasa bingung kenapa terlihat sunyi senyap, namun tiba-tiba Sastya mendengar suara isakan dari kamar Langit.

"Kenapa tuh? Masa iya gue masuk ke dalam?" monolog Sastya.

Tapi karena penasaran, Sastya pun mengetuk pintu kamar lalu membukanya, matanya melebar melihat Langit yang terduduk di lantai.

"Lo kenapa, Lang?"

Langit tak menjawab, dia hanya menelungkupkan wajahnya di antara lututnya.

Sastya menjadi bingung sendiri. Selama ini Sastya belum pernah melihat sisi rapuh Langit. Apa lagi kepergian Lia, Sastya benar-benar tak melihat kerapuhan yang mendalam seperti saat ini.

Mata Sastya memicing melihat foto yang dipegang oleh Langit yang membuat Sastya menghembuskan napas.

"Ternyata masih belum bisa lupain Lia? Terus kenapa kamu beri harapan kepada Bulan?"

Langit masih tak menjawab, ia masih terus terisak. Sudah cukup lama ia berusaha melupakan Lia, namun nyatanya masih tak bisa.

Diantara Bulan dan LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang