"Assalamu'alaikum sayang!" Langit memasuki rumahnya. Berjalan menuju kamar dengan raut wajah sedikit lelah.
Langit pun membuka pintu kamar. "Assalamu'alaikum sayang! Sayang!" ucap Langit tapi tak ada juga jawaban.
Langit mengernyit lalu memilih untuk meletakkan tasnya di atas ranjang. Ia kembali melangkah mencari Bulan yang tak kunjung ia temukan. Langit membuka pintu kamar mandi yang ternyata disana tak ada Bulan.
Wajah Langit yang tadinya santai kini berubah menjadi panik. Ia terus saja memanggil nama Bulan, mencari Bulan disetiap sudut rumah, namun tak kunjung ia temukan.
"Ya Allah, Bulan kamu dimana?" ucap Langit lagi.
Ia memilih untuk menghubungi nomor Bulan tapi nomor Bulan tak aktif. Hal itu membuat Langit semakin gelisah. Dia lalu berlari menuju keluar rumah mencari Bulan, mungkin saja Bulan berada di rumah sakit untuk menjenguk Zaiya.
****
Sore ini, Fatimah baru saja selesai bekerja di rumah Karang, ia lalu kembali mengganti pakaian dengan seragam sekolah, takut jika Laila akan tahu apa yang dia lakukan selama beberapa bulan terakhir ini."Ayo aku anterin kamu balik," ucap Karang yang sontak mendapat penolakan dari Fatimah.
"Maaf, kak. Lebih baik gak usah, aku takut Umi tau kalau selama ini aku bekerja," sela Fatimah.
"Ya sudah, kalau begitu ini uang untuk kamu, naik taksi saja biar cepat sampai." Lagi-lagi Fatimah menolak.
"Gak usah Kak. Aku naik sepeda saja. Assalamu'alaikum!" pamit Fatimah.
"Wa'alaikumussalam," balas Karang dengan posisi diam sembari menatap kepergian Fatimah. Sudut b1b1r Karang terangkat membentuk senyum tipis.
"Anak baik!" ucap Karang lalu memilih untuk beristirahat.
***
"Assalamu'alaikum, Ma, Pa!" sapa Langit yang baru saja masuk di ruang rawat Langit."Wa'alaikumussalam, nak. Bulannya mana?" tanya Zaiya karena tak melihat keberadaan Bulan.
Langit terdiam, kalau disini tak ada Bulan, lalu ia kemana saat ini. Jantung Langit semakin berdetak kencang, bingung harus menjelaskan kepada orang tuanya bagaimana. Karena rasa khawatir terus menggerogoti Langit, Langit pun langsung izin pamit.
"Ehmm ... Bulan lagi sama Shena, Ma. Umm, Langit ada urusan bentar. Langit pamit, Assalamu'alaikum!"
"Loh, kamu baru sampai, kok langsung pergi?"
"Ada urusan mendadak, ma. Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalam!"
Langit langsung berlari. Ia benar-benar frustasi, apa yang terjadi pada istrinya?
"Bulan kamu dimana?"
Langit menghubungi Bulan berkali-kali, namun masih tak aktif. Langit benar-benar tak tahu harus mencari sang istri kemana. Ia lalu menghubungi teman-temannya, berharap mereka bisa membantu untuk mencari sang istri.
"Assalamu'alaikum, Raja?"
"...."
"Gue minta bantuan lo sama temen-temen. Bantu gue nyari Bulan, dia hilang," ucap Langit.
"...."
"Ok makasih ya!"
Langit lalu kembali berlari menyusuri lorong rumah sakit. Ia lalu menaiki mobilnya dan melajukan di atas rata-rata.
Sudah berjam-jam Langit menyusuri jalanan sampai ia datang ke rumah Shena, beralih ke rumah Papa mertuanya, namun tak kunjung menemukan Bulan.
Langit benar-benar belum berani memberitahukan tentang keluarganya.
Hari sudah semakin sore. Langit pun sudah mulai gelap. Azan magrib sudah terdengar berkumandang. Langit kembali menghubungi Bulan, berharap kali ini Bulan menjawab panggilan teleponnya.
"Halo sayang! Kamu dimana?"
Tut! Tut!
Panggilan telepon terputus membuat Langit mengernyit. "Loh, kok mati?"
****
Langit baru saja selesai sholat magrib. Langit pun keluar dari masjid dengan wajah kusut karena memikirkan Bulan yang tak kunjung ia temukan. Rasa khawatir terus saja menyeruak ke dalam dirinya. Ini sudah bukan masalah sepele dan Langit harus memberitahu Papa dan Papa Bulan.Ia tak punya cara lain selain memberi tahu orang tua. Langit pun menghubungi sang Papa dan menyuruh Papanya untuk tak memberitahukan hal ini kepada Mamanya. Setelah selesai memberitahu sang Papa, Langit pun memilih untuk menuju rumah Papa Bulan.
Tak butuh waktu lama Langit pun sudah sampai. Dengan ragu ia memasuki halaman rumah Rudri.
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalam. Loh, nak Langit. Kenapa kemari? Mama Bulan?" tanya Rudri sembari celingak-celinguk mencari keberadaan Bulan.
"Hmm ... begini, Pa. Bulan hilang," jawab Langit takut-takut.
"Apa! Bagaimana bisa?"
"Tadi, Langit pergi ke kampus, pas pulang Bulan sudah gak ada. Jadi Langit kemari mau minta bantuan sama Papa. Langit udah gak tau nyari Bulan kemana, Pa," ucap Langit dengan suara bergetar.
Sesak yang sedari tadi ia tahan agar terlihat kuat, kini telah runtuh dengan air mata yang menetes begitu saja. Langit terisak lirih.
Rudri terdiam, ia juga tak tahu tempat yang biasa dikunjungi Bulan.
"Ya sudah, kita laporkan saja ke polisi," ucap Rudri yang juga terlihat begitu panik.
****
Pagi telah tiba, Langit kini sedang duduk termenung di dalam kamarnya. Satu malam Langit tak bisa tidur karena terus memikirkan Bulan yang masih belum ditemukan. Ia terlihat begit kacau, matanya terlihat sembab karena menangis."Bulan!" gumam Langit.
Tring!
Langit menoleh ke arah ponselnya yang terdengar notifikasi masuk. Tiba-tiba mata Langit terbelalak lalu membuka kunci layar dan melihat pesan yang baru saja masuk.
Bulan:
[Langit!!]Hanya itu pesan yang tertulis. Langit langsung menelpon kembali nomor Bulan, namun tak ada jawaban. Langit kembali menelpon Bulan lagi, tapi kali ini nomor Bulan sudah tak aktif.
"Aakkhh!!" teriak Langit lalu menendang meja yang ada di sampingnya.
"Kamu diaman, sayang!" lirih Langit.
Drrrttt! Drrrttt!
Langit kembali melihat ponselnya yang dimana tertera nama Raja disana. Langit dengan cepat langsung mengangkat panggilan telepon itu.
"Halo? Gimana?" tanya Langit.
"Semalam anak-anak temukan tas milik Bulan di jalan A. Trus kita udah cari Bulan di daerah itu, tapi gak ada tanda-tanda Bulan disana," jelas Raja diseberang sana.
"Ya udah, gue kesana! Kita cari sekali lagi," ucap Langit lalu mengakhiri panggilan telepon.
Langit langsung menyambar jaketnya dan berlari keluar rumah. Ia lalu menancapkan gas, melaju membela jalan raya yang terlihat sedikit sunyi

KAMU SEDANG MEMBACA
Diantara Bulan dan Langit
Novela Juvenil"Mungkin kamu tak akan melirikku walaupun sesaat. Tetapi setidaknya, jangan kamu tunjukkan sesuatu yang membuatku sakit" ~ Bulan Aisyah Willano