Bab 28

13 5 0
                                        

Selembar kertas ditaruh begitu saja di atas meja. Semuanya hanya diam dengan pikiran masing-masing. Langit terus saja memandang selembar kertas itu. Lalu memandang Bulan yang sedari tadi hanya menunduk.

Suasana terasa begitu dingin karena tak ada yang mengeluarkan suara. Tiba-tiba saja, Langit bangkit dari duduknya. Dengan tarikan napas ia pun memutuskan...

"Aku gak akan menandatangani surat perceraian ini. Aku gak akan melepaskan Bulan ... aku akan mempertahankan pernikahan ini!"

Bulan mengernyit, tak percaya dengan apa yang Langit katakan. Bukankah berpisah itu lebih baik? Dari pada bersama tapi tak pernah bahagia.

"Nak, bukan saya mau ikut campur ... tapi sepertinya, anak saya tidak bahagia dengan pernikahan ini. Biarkan saya mengambilnya kembali, saya tidak tega melihat dia seperti ini. Dia gadis kuat yang tak pernah mengenal kata lelah, tapi, ini pertama kali dia datang kepadaku dan menangis," jelas Rudri yang membuat Langit tertegun.

Apa Langit benar-benar menyakitinya dengan begitu parah? Langit lalu mengalihkan pandangannya kepada Bulan yang masih setia menunduk.

"Izinkan saya bicara dengan Bulan," ucap Langit tiba-tiba yang membuat semua yang ada disitu saling melempar pandangan.

Rudri melirik putrinya sebentar lalu mengangguk, ia mengizinkan putrinya untuk membicarakan masalah ini baik-baik dengan suaminya.

Langit pun berjalan lebih dulu dan diikuti oleh Bulan di belakangnya. Sedangkan Bulan merasa gelisah dengan semua ini. Ia ingin cepat-cepat balik ke rumah papanya. Sesampainya di belakang rumah Langit tepatnya disebuah ayunan.

"Duduk disini," perintah Langit agar Bulan duduk di ayunan itu bersamanya.

Dengan ragu-ragu Bulan pun menduduki dirinya disamping Langit tapi ia sedikit menjauh membaut Langit menghela napas.

"Bulan?"

Bulan langsung menoleh ke arah Langit yang malah menatap langit malam ini yang benar-benar hitam gelap. Tak ada satupun sinar yang meneranginya.

"Langit warnanya apa?" tanya Langit yang membuat Bulan mengernyit.

"Biru," jawabnya seadanya.

Langit terkekeh mendengar jawaban Bulan.

"Langit malam ini terlihat hitam dan gelap, disana pasti sangat menyeramkan, bulan benar-benar tak mengerti bagaimana menakutkannya langit tanpanya."

Bulan menoleh mendengar ucapan Langit. Maksudnya apa? Bulan benar-benar tak paham.

"Kamu ngerti gak?" tanya Langit yang tentu saja mendapat gelengan.

"Langit malam ini, ibarat aku tanpa kamu. Aku takut Bulan, aku takut kamu meninggalkan ku. Beri aku kesempatan sekali lagi ... aku mencintaimu, Lan."

Bulan terdiam mendengar perkataan Langit. Jantungnya bergemuruh di dalam sana, apa yang harus dia balas.

"Bulan Aisyah Willano, maukah kamu menerima cinta Alfatah Langit Siregar," ucap Langit setulus mungkin.

Bulan masih tetap diam, dia masih berusaha mencerna setiap kata yang Langit ucapkan. Tiba-tiba b1b1r lembut milik Langit menempel begitu saja di kening Bulan.

Bulan hanya memejamkan matanya merasakan hatinya yang menghangat. Ia merasa seperti ada kupu-kupu yang berterbangan dihatinya.

Beberapa detik Langit langsung meng3cup pipi Bulan kiri dan kanan, lalu beralih pada kedua mata Bulan yang terpejam, dan berakhir dihitung.

"Maaf, karena udah buat kamu sakit hati ... maaf untuk semuanya, Lan. Aku cinta sama kamu," ucap Langit lagi yang masih tak mendapat respon dari Bulan.

"Kalo memang ini keputusan yang benar-benar kamu inginkan maka aku akan menandatanganinya," ujar Langit lagi, lalu berdiri menuju dalam rumah.

Mata Bulan terbelalak. Jantungnya semakin kencang berdetak. Air matanya tiba-tiba jatuh begitu saja. Bulan langsung berdiri lalu berlari ke arah Langit.

Grep!

Bulan memeluk tubuh Langit dari belakang. Entah keberanian dari mana yang membuat Bulan memeluk Langit. Ia hanya terisak tanpa mengatakan apa pun.

Sedangkan Langit hanya bisa mematung, tubuhnya menegang. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.

"Aku cinta juga sama kamu, Alfatah Langit Siregar," ungkap Bulan.

Sudut b1b1r Langit terangkat membentuk senyuman. Ia lalu melepas pelukan itu dan berbalik menatap Bulan yang sudah berlinangan air mata.

"Jangan nangis," pinta Langit sembari mengusap air mata yang mengalir deras di pipi Bulan.

Langit kembali memeluk Bulan, membiarkan gadis itu menenggelamkan kepalanya di dada bidang miliknya. Ia bahagia karena bisa mendengar pengakuan Bulan saat ini.

"Ayo masuk, aku gak akan menandatangani surat perceraian itu, dan kamu akan tetap hidup bersama aku," jelas Langit yang tentu saja mendapat senyum manis dari Bulan.

Aah, Langit benar-benar terpesona dengan senyuman Bulan. Selama ini Langit kemana saja, sampai-sampai kecantikan istrinya sendiri ia tak menyadarinya dan baru sekarang ia bisa menikmati wajah cantik itu.

"Cantik!" lirih Langit yang tentu saja membuat Bulan tersipu malu.

Langit pun mengacak rambut Bulan gemes kemudian menggenggam tangannya erat, seakan tak mau Bulan pergi jauh darinya.

****
"Lalu bagaimana keputusannya?" tanya Rudri kepada Langit.

"Saya dan Bulan akan tetap mempertahankan pernikahan ini," jawab Langit sembari melirik Bulan.

Rudri terdiam sejenak, lalu menatap anaknya. "Apa itu benar?" tanya Rudri yang dibalas anggukan oleh Bulan.

Rudri pun menghela napasnya panjang, sedikit merasa lega ketika melihat wajah Bulan yang nampak berseri tidak seperti awal mereka datang. Ia bangga melihat anaknya yang sudah bisa menyelesaikan masalahnya.

"Putriku sudah besar ternyata," gumam Rudri tersenyum.

Abi juga ikut tersenyum, tak sia-sia ia diam agar anaknya bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Tak menyangka, anak yang ia anggap tak akan bisa mandiri, bisa saja melewati masalahnya ini.

****
Jam 22.00

Rudri sudah pulang satu jam yang lalu, dan Bulan kini tengah duduk bersama Langit di ruang keluarga sedangkan Abi dan Zaiya? Entahlah, kedua pasangan itu tidak terlihat setelah kepulangan Rudri.

"Sini!" panggil Langit sembari menepuk tempat duduk yang berada disampingnya.

Bulan pun mendekat ke arah Langit. Seperti baru saja kenal, Bulan merasa gugup. Toh, baru kali ini Langit memperlakukannya semanis ini. Setelah duduk disamping Langit, Langit langsung memeluk Bulan.

"Langit!" tegur Bulan, ia takut jika mertuanya melihat ini, Bulan bisa saja malu tujuh turunan.

"Diam, jangan bergerak. Tetap seperti ini."

Bulan hanya diam, nada suara Langit seakan-akan seperti polisi yang sedang memergoki penjahat.

"Kamu semakin kurus ya?" ucap Langit.

"Memangnya kemarin-kemarin aku gendut?" tanya Bulan.

"Gak gendut juga. Tapi kali ini lebih kurus ... pasti kamu gak bahagia banget ya sama aku, maaf!"

Bulan menggeleng, ia tak mau jika Langit merasa bersalah. Toh, disini itu yang salah adalah situasi. Hehe

"Kamu gak salah, yang salah adalah situasi. Kalau saja, dulu kita bertemu dengan cara lain, mungkin saja gak akan seperti ini," ucap Bulan.

"Maaf karena aku menyentuhmu sebelum menikahi mu," sesal Langit yang lagi-lagi membuat Bulan merasa tak enak jika harus Langit yang terus menyalahkan diri.

Diantara Bulan dan LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang