Kini kaki Langit tengah diobati oleh sang Mama.
"Aiss ... pelan-pelan, Ma. Sakit!" ringis Langit.
"Kalau lagi mengendara itu fokus biar gak kayak gini!" omel Zaiya yang membuat Langit mendengus sebal.
"Langit udah fokus, ini nih, gara-gara dia. Udah tau buta masih aja jalan malam-malam," protes Langit yang langsung mendapatkan pukulan dari sang Mama.
"Kok, Langit dipukul sih?"
"Mulutmu itu. Filter dikit, siapa yang ngajarin ngomong kayak gitu, hah?" marah Zaiya.
"Mama!" ucap Langit lalu berlari dengan kaki pincang. Takut jika sang Mama malah menambah rasa sakit di kakinya.
"Dasar!" umpat Zaiya lalu melirik Bulan yang hanya diam dengan tongkat yang terus saja ia pegang.
"Kamu Bulan ya?" tanya Zaiya yang dibalas anggukan.
"Hmm, kamu sudah makan?" tanya Zaiya lagi yang dibalas gelengan.
"Ya sudah, ayo kita makan."
Zaiya langsung berdiri membantu Bulan untuk berjalan ke dapur. Sebenarnya Bulan ingin menolak ajakan dari Zaiya karena merasa merepotkan, tapi dia juga butuh makan karena sedari siang ia tak di beri makan oleh Kakaknya.
"Maafkan saya tante. Saya gak bermaksud buat anak tante kecelakaan," ujar Bulan takut.
Sedangkan Zaiya kini tersenyum sembari mengelus kepala Bulan dengan kasih sayang.
"Tante gak marah kok. Kamu santai saja, kalau kamu dengar Langit ngomong yang nyakitin hati kamu, jangan didengerin. Dia orangnya memang kayak gitu," nasehat Zaiya.
"Ayo duduk!" ucap Zaiya sembari membantu Bulan untuk duduk.
Zaiya pun mengambilkan Bulan makanan, sesekali ia menanyakan lauk apa yang Bulan suka. Setelah makanan telah siap di piring, Zaiya pun duduk di samping Bulan.
"Buka mulutnya," perintah Zaiya yang langsung dituruti oleh Bulan.
"Biar Bulan yang makan sendiri aja, tante."
"Memangnya bisa?"
Bulan menggeleng pelan. "Tapi dirumah, kakak selalu kasih Bulan makan sendiri walaupun biasanya Bulan kena marah karena numpahin banyak nasi," balas Bulan dengan polosnya.
"Astaghfirullah." Zaiya hanya mengusap dadanya. Mata terus saja menatap wajah polos Bulan.
"Mama kamu dimana?" tanya Zaiya lagi.
"Mama udah pergi selamanya tapi sekarang Bulan udah punya Mama baru sama kakak dari Mama," jelas Bulan sembari tersenyum senang.
Di detik berikutnya, wajah Bulan terlihat sedih. "Tapi, Mama gak pernah sayang sama Bulan. Kaka juga selalu ngusir Bulan."
Mendengar itu, tiba-tiba air mata Zaiya luruh begitu saja. Bagaimanapun Zaiya juga seorang Ibu, dan seorang Ibu pasti pernah menjadi seorang anak. Perlahan Zaiya meletakkan piring yang ia pegang dan memeluk tubuh Bulan. Mengecup singkat puncuk kepala Bulan.
"Lebih baik, kamu makan terus istirahat. Besok tante akan belikan kamu baju biar punya baju ganti," kata Zaiya mengalihkan rasa sedih di dadanya.
"Gak usah tante, besok Bulan udah balik ke rumah. Kalau Bulan lama-lama disini, nanti masalahnya makin besar," jelas Bulan yang membuat Zaiya hanya menghembuskan napas.
Zaiya pun kembali menyuapi Bulan sampai selesai. Setelah selesai Zaiya pun menuntun Bulan menuju kamar tamu. Sebelum sampai tiba-tiba terdengar suara dari luar.
"Assalamu'alaikum sayang! Aku pulang!" teriak orang itu yang sudah berada di ruang tamu.
"Wa'alaikumussalam. Gak usah teriak-teriak gitu iih," kesal Zaiya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diantara Bulan dan Langit
Fiksi Remaja"Mungkin kamu tak akan melirikku walaupun sesaat. Tetapi setidaknya, jangan kamu tunjukkan sesuatu yang membuatku sakit" ~ Bulan Aisyah Willano