Di dalam ruangan yang penuh dengan alat-alat medis itu, seorang gadis masih tak kunjung membuka matanya. Dokter terus saja berusaha untuk mengembalikan detak jantungnya yang semakin tak normal itu. Rasa khawatir sang dokter begitu kuat. Dokter itu sudah berapa kali meminta untuk mengoperasinya saja, walaupun kemungkinannya kecil untuk sembuh, tapi gadis itu menolak. Siapa lagi kalau buka, Lia.
Gadis keras kepala yang hanya ingin dituruti kemauannya saja. Entah kenapa dokter itu meneteskan air mata kala detak jantung Lia tak kembali semula. Dokter itu luruh ke lantai, merasa dirinya gagal merawat Lia. Merasa dirinya tak pantas menjadi dokter, membiarkan pasiennya tak operasi hanya karena permintaan konyol dari pasien.
Dan sekarang ia harus merahasiakan tentang pendonoran itu kepada pria yang sangat mencintai Lia. Dokter juga sudah memberitahu keluarga Lia, awalnya mereka menolak tapi karena itu permintaan terakhir dari sang anak, mereka pun menyetujuinya.
*****
Langit kini hanya bisa termenung melihat m4yat Lia yang terbaring lemah dengan kain kafan yang menutupi seluruh tubuhnya. Lia pergi, cintanya telah pergi.
"Kenapa kamu gak ceritakan tentang penyakit kamu ini, Lia?" tanya Langit dengan isakan.
Langit hanya bisa duduk disamping Lia yang terbaring. Hanya bisa melihat wajah pucat Lia yang masih belum ditutupi kain kafan itu. Setetes air mata lolos lagi dari pelupuk matanya.
"Maafkan Tante karena merahasiakan ini semua. Karena Lia menyuruh Tante agar gak beritahu siapapun," ujar Mama Lia yang baru saja duduk disamping Langit.
Langit hanya mengangguk lemah. Ingin sekali ia menahan kepergian Lia, namun, tuhan tetap akan mengambil kekasihnya ini.
"Beristirahatlah dengan tenang, Amelia Puspita," gumam Langit sembari memaksa senyumnya karena tak mau jika Lia melihatnya terus bersedih. Ia tak mau jika Lia ikut bersedih karena dirinya yang masih tak bisa melepaskan kepergiannya.
***
Hari ini adalah hari dimana Langit harus memulai hidupnya tanpa adanya Lia. Ingin sekali ia curhat kepada Papanya tapi nanti ia akan ketahuan berpacaran selama ini. Jadi, Langit hanya bisa memendam kesedihannya di hadapan kedua orang tuanya.
Langit pun bergabung bersama Papa dan Mamanya untuk makan. Tapi sikapnya dan juga gerak-geriknya hari ini terlihat begitu beda, membuat Zaiya khawatir.
"Kamu kenapa, sayang? Sakit?" tanya Zaiya karena sedari kemarin malam Langit pulang, ia terlihat lemah, letih, lesuh, loyo.
"Langit gak pa-pa," balas Langit sembari menyuap makanan kedalam mulutnya.
Zaiya hanya menghela napas melihat kelakuan anaknya itu, lalu menatap Abi yang masa bodoh.
"Sayang, kok kamu gak khawatir sama, Langit?" kesal Zaiya.
"Bagaimana mau khawatir, dia sendiri gak mau ceritakan masalahnya. Jadi, apa yang perlu dikhawatirkan," balas Abi yang membuat Zaiya mendengus sebal dan beralih menatap Langit.
"Kamu beneran gak ada masalah?" tanya Zaiya lagi sembari duduk disamping Langit.
Buka menjawab, Langit malah memeluk Zaiya dan menangis. Suaranya juga terdengar begitu memilukan. Hal itu membuat Zaiya semakin bingung saja tapi tetap membalas pelukan sang anak. Zaiya menoleh ke arah Abi yang juga melihat tingkah anaknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diantara Bulan dan Langit
Ficção Adolescente"Mungkin kamu tak akan melirikku walaupun sesaat. Tetapi setidaknya, jangan kamu tunjukkan sesuatu yang membuatku sakit" ~ Bulan Aisyah Willano