Bab 54 ~ belum berakhir

7 4 0
                                    

"Aku cinta sama kamu, Fatimah!"

Fatimah terkejut bukan main dengan penuturan seorang laki-laki yang selama ini ia anggap sebagai kakak sendiri. Matanya masih nengerjab, ia masih berusaha untuk menyadarkan dirinya dari mimpi. Namun, sayang ini bukanlah mimpi melainkan kenyataan.

"Apa kakak bercanda?" tanya Fatimah tak habis pikir.

"Gak, aku gak bercanda. Tapi aku sadar kalau kamu gak akan menjadi milikku. Kamu masih terlalu anak-anak untuk aku jadikan Istri. Dan mungkin suatu hari nanti kamu pasti akan menemukan pendamping hidupmu."

Fatimah masih terdiam. Ia benar-benar tak paham dengan semua ini. Jangankan Fatimah, author saja gak paham.

"Datang ke pernikahanku!" ucapnya lagi sembari memberikan surat undangan kepada gadis kecil itu.

"Berhenti bekerja, semua ganti rugi itu sudah aku ikhlaskan," ucapnya yang tak lain adalah Karang.

Pria 20 tahun yang jatuh cinta kepada anak SMP. Sangat aneh bukan. Karang pun meninggalkan Fatimah sendiri disebuah taman membuat Fatimah terdiam sendiri. Ia berusaha mencerna setiap kata Karang.

Cinta? Apa ini disebut cinta? Sungguh Fatimah tak tahu definisi cinta dan juga ia tak tahu apa yang di ungkapkan Karang itu adalah cinta? Dan apa Fatimah juga jatuh cinta pada Karang. Sepertinya tidak, Fatimah tidak cinta kepada Karang.

"Apa begini cinta orang-orang dewasa? Mengungkapkan lalu meninggalkan?"

Fatimah menjadi bingung sendiri, sewaktu ia meyakini kalau dirinya mencintai Sastya, buka seperti ini. Ini benar-benar aneh dan membingungkan.

Detik berikutnya Fatimah tertawa keras.

"Lucu!" ucap Fatimah lalu pergi dari sana.

****
Disisi lain Sastya sedang kewalahan menghadapi sang istri yang meminta ini dan meminta itu. Terkadang apa yang Sastya turuti ternyata salah membuat sang istri hampir saja menangis.

"Yang mana sayang? Ini? Atau yang ini?" tanya Sastya sembari menunjukkan sebuah jilbab yang baru saja ia belikan dengan jumlah yang cukup banyak.

"Terserah Mas saja," jawabnya.

"Ya udah Mas pilihkan yang ini," ucap Sastya sembari menunjukkan jilbab maroon.

"Jangan yang itu, itu gak bagus," sela Laila.

"Loh, trus yang mana, sayang? Udah dari tadi loh," balas Sastya selembut mungkin.

"Mas cape?" tanya Laila yang dibalas anggukan oleh Sastya.

"Ya udah masuk sana!" Senyum pun terbit di wajah Sastya, merasa senang, akhirnya Laila berhenti juga. "Tapi, Mas gak boleh tegur aku selama sebulan." Mendengar itu sontak senyum Sastya seketika luntur.

"Loh, kok gitu, sayang?"

"Diam!" Laila langsung pergi meninggalkan Sastya.

Sedangkan Sastya kini hanya bisa menatap nanar ke arah Laila.

"Gini amat istri gue ngidam. Shena sama Bulan perasaan gak gini-gini amat. Hedeh mau nangis tapi udah gede," monolog Sastya.

"Nangis aja, Aba. Nangis itu kan manusiawi, kalo Aba gak tau nangis, yah, berarti Aba bukan manusia dong," celetuk Fatimah yang baru saja datang.

"Fatimah bujuk Umi ya? Bilang Aba minta maaf!"

"Gak boleh gitu, Aba. Setiap masalah suami istri itu, harus diselesaikan sendiri lah. Fatimah belum berpengalaman," balas Fatimah. "Kalo gitu Fatimah masuk dulu. Aba yang semangat," ucap Fatimah terkekeh melihat wajah kusut dari Sastya.

Sangat lucu menjahili Aba nya ini. Sastya hanya bisa menghembuskan napas melihat kepergian anak sambungnya itu. Benar-benar tidak jauh beda sama sikap Uminya.

.
.
***
Tiga bulan telah berlalu, Bulan kini tengah berada di rumah sakit karena perutnya yang sudah mulai sakit tiba-tiba. Jadi dokter menyarankan untuk dirawat di rumah sakit sampai waktu melahirkan. Waktu lahiran tinggal satu minggu jadi mereka tetap menetap di sini.

"Masih sakit?" tanya Langit sembari menggenggam tangan Bulan dan tangan sebelah mengusap rambut Bulan.

"Udah gak lagi," jawab Bulan.

"Ya udah, ini mama tadi bawain makan. Makan dulu ya?" Bulan mengangguk.

Langit pun membuka rantang makanan itu. Lalu menyuapi Bulan dengan hati-hati. Sesekali ia melap mulut Bulan dengan tisu.

"Udah, aku udah kenyang," ucap Bulan sembari menggelengkan kepalanya tanda tak mau.

"Sesuap lagi, sayang!"

"Gak mau, perut aku kek mau pecah kalo makan lagi," ucap Bulan dengan manja.

Langit pun menghela napas dan kembali menyimpan kembali makanan sisa. Setelah itu, Langit pun kembali duduk disamping sang istri, mengusap perut Bulan. Beberapa menit berlalu, Bulan sudah memejamkan matanya. Karena seharian perutnya kontraksi membuat Bulan tak bisa tidur siang.

Langit pun memilih untuk menelungkupkan kepalanya di ranjang Bulan.

....
"Sayang perut aku sakit!" Langit membuka matanya.

Langit terkejut melihat sang istri yang sedang menahan sakit. Cepat-cepat ia memanggil dokter untuk memeriksa kondisi sang istri. Setelah diperiksa, katanya Bulan akan lahiran malam ini. Bulan pun di pindahkan ke ruang bersalin. Langit juga sudah menggenggam tangan Bulan. Mengikuti kemana Bulan akan dibawa.

Sesampainya di ruang bersalin, semua sudah dipersiapkan. Bulan juga sudah siap dengan posisinya. Langit yang berada di samping Bulan kini membiarkan tangannya digenggam kuat.

Rasa sakit yang ia rasakan saat Bulan mencengkram lengannya itu tak sebanding dengan sakit yang Bulan rasakan.

"Kamu pasti bisa, sayang," ucap Langit dengan mata yang berkaca-kaca.

Jadi, seperti ini perjuangan seorang perempuan?

Langit hanya terus memberikan semangat kepada Bulan, ia tak tahu berbuat apa, biar dokter yang menanganinya.

"Ayo, sedikit lagi!"

Tangan Langit kembali Bulan remas kuat-kuat. Dan itu lebih kuat dari pertama membuat Langit sedikit meringis dan akhirnya ....

"Owek! Owek!"

Tangisan bayi yang sudah Langit tunggu-tunggu kini telah terdengar menggema di ruangan yang akan menjadi saksi dimana perempuan-perempuan kuat yang berjuang di tempat ini.

"Dokter!" ucap salah satu perawat dengan wajah panik.

Langit yang mendengar itu langsung menoleh ke arah perawat tersebut. Kemudian ia mengikuti pandangan perawat itu. Wajah Bulan kini pucat dengan mata tertutup. Dokter itu pun langsung menepuk pipi Bulan.

"Bulan! Bulan!" panggil dokter itu tapi tak ada respon.

Dokter itu pun mengecek detak jantungnya kemudian mengecek nadinya. Perlahan ia meletakkan kembali tangan Bulan. Menatap Langit yang juga menatapnya dengan ekspresi bertanya 'kenapa'

"Mbak Bulan telah tiada!"

Jeddarr!!

Bagaimana disambar petir di siang bolong, wanita yang ia cintai kini pergi. Wajahnya datar, tak tahu harus bahagia atau sedih. Bahagia karena anaknya telah lahir atau menangis karena kepergian istrinya.

Langit terduduk lemas di lantai. Nafasnya seakan tercekat karena menahan tangisnya yang tak mau keluar. Hancur, dunianya hancur.

"Kenapa secepat itu, Bulan? Katanya kamu ingin melihat anakmu bertumbuh kembang bersamaku. Apa itu hanya kebohongan?"

Air mata yang tadinya tertahan di pelupuk mata kini terjatuh. Sebuah pisau seakan merobek jantung dan hatinya.

"Bulan!" isak Langit terlepas sudah.

Diantara Bulan dan LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang