"Wajahmu sedih lagi."
Felicia mengangkat wajah dan mendapati Raja Henry berdiri didepan pintu. Pria berusia 50 tahun itu melangkah mendekati Felicia.
"Apa putraku kembali menganggumu?" Raja Henry menarik kursi kerja miliknya dan mendudukan diri disana. Ia meneliti Felicia yang berdiri terpisahkan oleh meja kayu yang dipenuhi tumpukan dokumen penting. Meski sebagian besar urusan kerajaan sudah ia serahkan kepada Eros, namun dokumen-dokumen tersebut masih saja berdatangan. Henry memang sudah seharusnya mencarikan Eros istri agar anak itu bisa segera mengambil alih seluruh pekerjaan yang memuakan ini.
"Aku bisa menegurnya kalau kau mau."
Felicia tersenyum mendengar itu. Dia dengan telaten menuangkan secangkir teh untuk Sang Raja.
"Anda harus berhenti berburuk sangka pada Pangeran Carlos. Hari ini aku bahkan tidak bertemu dengannya."
Henry menerima cangkir yang Felicia sodorkan. Dihirupnya aroma menenangkan dari teh buatan Felicia. Ketika teh hangat tersebut mengalir didalam tenggorokan, Henry langsung mendesah lega. Tidak ada yang bisa menandingi teh yang diracil oleh Felicia.
"Anak itu pasti kembali ke sana. Orang-orang ramai membicarakanku karena tega mengirim putraku sendiri ke tempat pengasingan. Mereka tidak tahu saja jika Carlos sendiri yang memintaku agar mengirimnya ketempat itu."
Felicia mendengarnya dengan seksama. Dia tidak menyela ataupun berkomentar. Yang dia lakukan hanya melangkah mendekati pria itu lalu dengan sangat lembut memijat bahu kokoh yang menanggung ribuan nyawa rakyat Saba.
Raja Henry menghela nafas mendapat perhatian itu.
"Sampai kapan kau akan melakukan ini? Keadaan telah jauh lebih stabil jika kau ingin mengakhirinya."
Felicia sempat tertegun mendengar itu. Gerakan jemarinya yang menekan lembut bahu Raja Henry sontak terhenti. Namun hal tersebut hanya berlaku selama beberapa detik saja karena setelahnya Felicia kembali bersikap normal.
"Aku tidak keberatan menjalani semua ini, Yang Mulia."
"Ya, tapi kau juga tidak bahagia." Raja Henry menggenggam tangan kanan Felicia yang ada dibahunya. Ia bimbing perempuan itu agar berdiri disampingnya.
"Kau tahu aku menyayangimu, bukan?"
Felicia mengangguk. Ia dengan sabar menunggu Raja Henry menyelesaikan ucapannya.
"Kau dan Eros. Kalian berdua adalah orang yang palin aku sayangi. Aku tidak ingin dikenang sebagai Ayah yang menghalangi kebahagiaan anak-anakku."
Kali ini Felicia menunduk. Tidak kuasa membalas tatapan Raja Henry yang sepenuhnya tertuju padanya.
"Segera jelaskan pada Eros kejadian dua tahun lalu. Beritahu dia bahwa selama ini aku tidak pernah menyentuhmu layaknya sepasang suami istri. Kau tidak bisa lebih lama lagi menyembunyikan semua ini. Lagipula aku juga tidak ingin terus dibenci oleh darah dagingku sendiri."
"Aku tidak yakin bisa mengatakan semua itu." Felicia berucap lirih. Raut sedih dari wajah cantiknya membuat Raja Henry mengeryit curiga.
"Apa ada yang tidak aku ketahui tentang kalian berdua?"
Felicia menggeleng. "Aku hanya merasa semua sudah terlambat. Bagaimana kalau ternyata perasaan Pangeran Eros telah berubah? Aku tidak ingin membuatnya berada dalam keadaan sulit."
"Maksudmu ada perempuan lain yang saat ini dekat dengan Eros?"
Felicia tidak menjawab. Hanya saja pengalaman hidup Raja Henry membuatnya dapat dengan mudah memahami raut wajah seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROYAL CHEATING
RomanceNora terjebak. Desa tempatnya bermalam diserang oleh sekelompok prajurit dari kerajaan seberang. Alih-alih berlari menyelamatkan diri putri kerajaan Sandor ini justru berpura-pura menjadi wanita tunanetra dan dengan pasrah bergabung bersama tawanan...