Chapter 18 - Garis Takdirnya -

1.6K 255 16
                                    

Author Pov

Kalian pasti ingat di chapter sebelumnya tentang (M/n) kenapa bisa berada di Alam para Dewa ? Dan mengejar Dewa Kematian dengan murka ?

Oke. Oke. Aku bakalan ceritakan sebelum mereka bisa berada di Alam para Dewa.

Sebelumnya, (M/n) hanya menatap kosong saat baru saja dia membuka matanya.

"Lagi lagi di tempat ini", gumam (M/n) saat berada di ruang gelap hampa yang sangat sangat dia kenal. Sofa yang sama sebelumnya juga ada dia duduki.
"Kali ini pasti ulah Dewa Kematian"

(M/n) hanya perlu diam menunggu sampai mendengarkan suara Dewa Kematian seperti biasanya. Dia ingat terakhir kali sebelum berada di sini, dia sedang minum teh bersama Ijekiel dan Jennette. Tetapi tiba tiba saja dia memuntahkan darah setelah meminum teh yang Ijekiel buatkan untuknya lalu dia merasakan kehilangan kesadaran.

"Apa ada racun di dalam tehku ?", (M/n) bergumam lagi. Karena dia yakin teh itulah yang menyebabkan dia muntah darah. Dadanya terasa sesak saat itu tetapi dia sekarang tidak merasakan apa apa lagi saat berada di ruangan gelap hampa ini.
"Mana mungkin Ijekiel yang melakukannya. Pasti ada yang mencoba menjebak Ijekiel"

(M/n) tahu. Dia tahu kalau Ijekiel benar benar menyayanginya. Jika Ijekiel tidak menyukai keberadaannya, mungkin sejak dulu Ijekiel akan melenyapkannya bahkan mengabaikannya. Di dalam cerita novelnya juga di ceritakan kalau Ijekiel itu sangat ramah, sopan dan baik hatinya, mana mungkin dia akan sejahat itu kepadanya.

(M/n) lagi lagi melamun. Dia menunggu suara Dewa Kematian ataupun kedatangan Choi Jung Soo. Tetapi hanya ada kekosongan yang menyambutnya.

"Jangan bilang Dewa itu lupa jika aku berada di sini seperti sebelumnya", gerutu (M/n) mengingat kejadian setelah kematian di kehidupan pertamanya. Dia langsung berada di ruangan ini dan Dewa Kematian melupakan kehadirannya.

Saat (M/n) akan turun dari sofa, tiba tiba saja dia di kejutkan dengan kemunculan pria tak di kenal di depannya. Dia menatap pria itu dengan tatapan bingung saat pria itu menatapnya dengan senang.

"ANAKKU !", pria itu langsung memeluk (M/n) dengan berlutut di hadapan (M/n). Membawa (M/n) kepelukannya.

(M/n) bengong sebentar dan setelah menyadari suara pria yang memeluknya ini persis sama dengan suara Dewa Kematian, dia langsung memukul belakang kepala pria itu.

"Kau Dewa baj*ngan !", geram (M/n) setelah berhasil memukul belakang kepala Dewa Kematian yang langsung tersentak mundur melepaskan pelukan mereka.
"Kenapa kau membawaku ke sini"

"Kenapa kau tega memukul Ayahmu ini, anakku", Dewa Kematian menangis dramatis membuat (M/n) menatap jijik ke arahnya.

Note : Entah kenapa aku suka sekali menistakan Dewa Kematian. Jadi maaf jika Dewa Kematian dan Dewa lainnya di cerita ini bakalan Ooc dan ternistakan oleh emen (⁠ ⁠╹ ⁠ω⁠ ╹⁠ ⁠).

"Kau bukan Ayahku, berhentilah dramatis dan katakan kenapa aku bisa ada di sini", cemberut (M/n) dan Dewa Kematian tiba tiba saja menghentikan tangisan palsunya.

"Ekhem. Baiklah baiklah. Oh, sebelum itu ayo kita pindah tempat terlebih dahulu", Dewa Kematian berdiri sambil menggendong (M/n) yang memberikan tatapan tajam kepadanya.

"Turun", desis (M/n) kesal menatap wajah Dewa Kematian yang sialnya lagi sangat tampan.

"Tidak~. Kita perlu sedekat ini agar aku bisa mengajakmu pindah bersamaku", balas Dewa Kematian mengabaikan tatapan (M/n) yang penuh kekesalan. Malahan di matanya terlihat sangat imut.

"Apa kau cabul. Kita hanya perlu bergandengan tangan daripada kau menggendongku", (M/n) benar benar tidak habis pikir dengan tingkah Dewa satu ini. Bukankah Dewa seharusnya tak tersentuh, dingin, bersikap kejam kepada manusia. Tetapi kenapa Dewa Kematian bisa semenyebalkan ini.

The Youngest Alpheus Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang