Empat Puluh Empat: Yona & Vier

110 13 0
                                    

Sepanjang perjalanan menuju rumah istirahat Vinara, menempuh waktu 20 menit dan selama itu tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Yosina dengan seseorang yang mengajaknya itu.

Seseorang yang selalu berinteraksi seperlunya. Atau bahkan, keduanya hampir tak pernah berlama-lama dalam situasi berdua saja. Baru kali ini mereka memilih keluar bersama.

Orang itu memberhentikan motornya pada sebuah parkiran yang disediakan pada pemakaman yang cukup elite di kawasan ibu kota. Yosina turun dari motor tersebut. Melihat sekitar pemakaman yang sangat sepi, hanya beberapa pengurus tengah membersihkan kawasan pemakaman.

"Lo duluan aja, gue beli bunga dulu sama air mawar."

Yosina menjawab dengan anggukan kemudian pergi menuju tempat istirahat Vinara. Dimana tubuh gadis itu terbaring dengan sebuah nisan yang terpasang cantik bagai mahkota.

Yosina terduduk simpuh, menatap lama nisan tersebut. Sekelebat bayangan masa lalu dimana dia dan Vinara banyak menghabiskan waktu pun membuat sebuah senyuman tercetak pada bibirnya.

"Udah lama, ya sejak kita habiskan waktu bareng. Jujur, Yona kangen sama lo Vier."

Vier dan Yona adalah panggilan khusus diantara mereka. Sebuah panggilan yang tercipta memang diperuntukan kepada keduanya.

"Gue baru denger semuanya dari Jerga. Gue gak tau harus bereaksi apa. Kalau pun lo ada, mungkin gue akan meluk lo kuat-kuat dan nangis disana. Maaf gue gak bisa lindungi lo seperti perkataan gue dulu."

"Vier, alasan gue larang lo buat deket sama Jerga bukan hanya perihal dia kekasih gue. Tapi, dia terlalu brengsek untuk lo. Gue hanya pengen, lo dapet yang lebih baik daripada Jerga. Kalaupun posisinya bukan Jerga, gue akan memberikan untuk lo. Asal lo bahagia. Tapi, ini Jerga. Gue lebih tau betapa buruknya dia, disamping gue sayang juga sama dia."

Yosina menarik nafasnya panjang, untuk kemudian kembali menumpahkan isi hati dan kepalanya, "Gue udah maafin lo, jangan khawatir. Lo selalu tau bahwa gue gak pernah bisa marah beneran dengan lo. Ketika gue terlihat marah, sebenarnya maksud dari itu hanya khawatir dan takut."

Yosina memeluk nisan bertulisan nama Vinara itu, "maaf gue membully lo dulu, pasti lo sangat tersiksa waktu itu. Disamping dengan hubungan diam-diam lo bersama Jerga, selama itu lo juga sakit kan lihat gue dan Jerga bisa mesra di publik? Gue minta maaf sebesar-besarnya atas itu. Kalaupun gue tau, mungkin gue akan tarik lo pergi supaya gak berhubungan lebih dalam dengan Jerga serta gue juga akan melepaskan dia. Biar kita sama-sama gak sakit."

"Vier, gue gak tau apa yang Jerga katakan sama lo sampai lo terbuai, tapi gue merasa bahwa perasaan lo tulus dan besar ke dia. Makasih udah mengajak dia menjadi manusia itu seperti apa karena gue cuma bisa menatapnya tanpa mengajak. Dia orang baik, maafin dia ya Vier." Yosina terus mengadu.

Tanpa gadia itu sadari, ada seseorang yang memperhatikannya dari kejauhan. Seseorang dengan bunga dan air mawar ditangannya. Dan seseorang yang juga mengajak Yosina untuk kemari.

Orang itu mendengarkan semuanya. Ia baru menyadari sisi lain dari Yosina yang tak di tunjukkan kepada publik. Dan mungkin itu sisi Yosina yang hanya ditunjukkan kepada Vinara seorang selama ini.

"Gue udah baca isi buku harian lo. Andai lo cerita sama gue semuanya, bahkan dihari lo tau bahwa lo mengandung anak dia juga. Gue akan pastikan Jerga sama lo, dan kalian hidup bersama. Gue gak pernah mau egois kepada lo. Karena sahabat satu-satunya gue cuma lo. Dan lo adalah orang yang selalu bisa mengerti gue sejak dulu, lo berharga buat gue lebih dari apapun."

"Gue sayang lo, bahagia diatas sana ya peri cantik Hadinata." Yosina mengecup nisan Vinara dengan mata terpejam. Membayangkan ada raga Vinara yang balik memeluknya.

Yosina rindu pelukan Vinara. Sebuah pelukan nyaman yang menenangkan. Yosina selalu menganggap Vinara saudara, tak pernah berubah.

"Panas, gak?" Ujar seseorang yang tiba-tiba datang.

"Biasa aja. Lo mau gantian bicara sama Vinara sendirian? Gue bisa pergi kalau lo mau." Yosina bersiap untuk bangkit.

"Gak usah, lo duduk aja. Gak masalah kalau mau denger."

Cowok itu ikut bersimpuh dihadapan Yosina, menatap sebuah gundukan tanah yang mulai dihiasi rerumputan hijau.

"Nara, rindu." Kalimat singkat yang berjuta makna. Yosina hanya diam, tak ingin mengganggu.

"Maaf kalau saat itu gue justru menjauh bukan mendekap lo yang butuh bahu dan pelukan."

"Gak banyak yang ingin gue katakan, tapi soal perasaan gue ke lo itu pasti sampai hari ini belum hilang."

Yosina menatapnya dalam-dalam. Tangannya terulur mengambil tangan cowok itu, membawanya ke atas nisan Vinara.

"Mahatma, makasih untuk semuanya."

"Itu kira-kira jawaban Vinara." Yosina berucap dengan tatapan dalam.

Keduanya terdiam dengan tangan yang saling bertumpu. Yosina maupun Mahatma sama-sama baru melihat sisi kedua dari masing-masing mereka. Sisi yang tak pernah diperlihatkan sebelumnya.

Mahatma si cowok cuek dan tidak perduli sekitar, mantan ketua osis yang sekarang jadi pemberontak nomor satu Anthurium. Digosipkan berpacaran dengan Vinara karena betapa tulus dan istimewa perlakuan dia kepada gadis itu.

Yosina gadis yang selalu memperlihatkan sisi angkuh dan tak tergapai. Memiliki hubungan dengan Jerga yang membuat banyak orang iri hati. Gadis cerdas dengan segudang prestasi. Namun, tak memiliki teman yang selalu bersama dengan dia. Atau bisa dibilang sedikit terutup.

"Bunganya," ujar Yosina menghentikan aksi saling tatap itu.

Mahatma yang menyadari juga, segera menarik tangannya. Cowok itu menyerahkan bunga tersebut pada Yosina untuk ditaburkan tepat diatas makam Vinara.

Sementara Mahatma menyiramkan nisan Vinara dengan air mawar yang juga dibelinya.

"Dari sini, mau balik langsung ke sekolah? Tapi jam pulang masih satu jam lagi." Mahatma berucap.

"Makan dulu, istirahat tadi gue gak makan. Sekarang laper." Yosina berucap dengan cuek tanpa menatap Mahatma. Oh, bahkan keduanya memang tak saling tatap saat berbicara ini.

"Suruh siapa gak makan?" Pertanyaan Mahatma membuat Yosina berdecak, "Ada urusan." Jawaban gadis itu singkat.

"Makan pinggir jalan, mau? Gue gak ada cash banyak dan ATM ketinggalan."

"Siapa yang minta bayarin? Gue punya duit kali." Yosina kembali menjawab ucapan Mahatma dengan nada menyebalkan. Membuat Mahatma heran sendiri, kenapa bisa Yosina berubah secepat ini?

Baru saja ia melihat sisi Yosina yang anggun dan lembut. Sekarang sudah kembali pada settingan biasa di sekolah.

"Gue cuma bersikap gentle."

"Gak usah bersikap gentle sama gue. Kita gak sedekat itu?" Yosina berucap sambil menatap Mahatma yang juga balik menatapnya.

"Terserah deh, gue cuma mau baik aja kali ini sama lo."

"Ya makasih, gak penting."

Keduanya lalu berjalan beriringan dengan obrolan sederhana tanpa bersambung panjang. Mahatma memutuskan mengajak Yosina makan di sebuah tempat makan pinggir jalan yang menjual Soto ayam enak langganan dia dan Vinara dulu.

Yosina tak bereaksi apapun, tapi Mahatma tau bahwa gadis itu menyukainya.

To be continue...

KAMUFLASE [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang