Cita vs Cinta.

739 124 12
                                    

Sudah tiga hari berlalu sejak pertentangan antara suami-istri Uchiha muda. Tak ada canda ria. Tak ada keusilan-keusilan tercipta. Bahkan saat malam, mereka tidur saling membelakangi.

"Pikirkan kembali. Terlepas dari perasaannya yang sensitif, kau perlu ingat juga bahwa dia sedang hamil"

Nasehat kakaknya menggaung di kepala. Sasuke menoleh ke belakang. Bukan hal ini yang ia pinta.

Spekulasinya terlalu jauh. Seingatnya dia cuma berharap jalannya mulus. Bercerita, Sakura suka, dirinya terbang ke Jerman, kembali pulang, dan melepas rindu bersama.

Besok akan kupikirkan lagi, gumamnya sembari menangkupkan selimut.

Sedang Sakura merasakan pergerakan dari sang suami. Melirik sejenak. Perubahan sikap kian terlihat di pelupuk mata.

Padahal Sasuke-kun tidak pernah memakai selimut sampai menutupi kepala, loh.

Termenung, kegelisahan mengantar tidurnya. Satu sisi menyesal, harusnya bisa membicarakan semua baik-baik tanpa mengatakan apa yang terjadi dalam mimpi. Namun sisi lainnya berusaha membela diri, bahwa sebetulnya ia hanya mencemaskan Sasuke dan Sasuke perlu tau itu!

"Terkadang sesuatu terjadi kalau kita yakini"

Sanggahan kakak ipar melintas tiba-tiba. Diskusinya tempo hari membuahkan amanat penting walau tak sepenuhnya menuntaskan masalah. Dia masih punya waktu untuk memutuskan sesuatu.

Mungkin besok akan ada titik terang.

Dan.. Nyatanya tidak! Kehidupan pantomim masih bertahan di rumah. Meski salah satu mulai membuka obrolan, tetap saja mereka kalah dengan arogansi masing-masing.

"Ne" setelah menimang-nimang sumpit di jari tangan, Sakura berani memulai.

"Hn?"

"Jadi.. bagaimana?"

"Apanya?"

Sunyi merayap. Suara mangkuk keramik bersenggolan. Bebunyian sumpit saling mengapit. Lisan keduanya terkunci oleh makanan. Mereka kembali kikuk layaknya di awal pernikahan. Justru kali ini lebih parah!

"Tentang Jerman.. itu.."

"Gochisousama" Sasuke bergegas meletakkan sumpit, "ittekimasu"

"Uhm, itterashai"

Lagi-lagi jalan buntu. Di dua tempat berbeda, keduanya merutuki ketidakmampuan menyatakan kehendak. Entah sampai kapan keheningan dapat terpecah.

"Bagaimana tentang tawaran itu? Mereka sangat mengharapkanmu ke sana" tanya profesor tiap bertemu, "aku sangat mengharapkanmu, karena tidak ada yang memiliki kemampuan instrumentasi dan bahasa Jerman sefasih dirimu"

Belum selesai urusan perizinan dengan istri, profesor sudah menagih. Pikirannya kian runyam. Keputusannya tak mungkin semudah menjawab ya dan tidak. Ada resiko besar yang menanti.

"Beri saya waktu sampai Senin depan"

Kalau memang Sakura tak setuju, aku akan mundur.

Bayang-bayang masa kelam masih bertengger di kepala. Dulu ia pernah kehilangan calon anak serta nyaris kehilangan istri. Lambat waktu bergulir, dia mensyukuri apa yang ada. Berjanji tak akan bertaruh pada kebahagiaan lain. Hanya dirinya, Sakura, dan anak mereka.

Mungkin itu yang terbaik, putus Sasuke melepas impian. Tidak. Tidak secepat itu. Butuh perenungan agar benar-benar legawa.

Hingga malam tiba. Kakinya selalu mendarat tepat ketika makan malam. Sengaja, demi menghindari interaksi suami-istri di rumah. Berada di satu atap tak menjamin hubungan yang baik.

𝕆𝕏𝕐𝕋𝕆ℂ𝕀ℕTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang