3 tahun lalu.
Dalam posisi terduduk di satu bangku kosong di kantor Kodam, sudah berapa kali saja Fina berusaha menepis pemikiran demi pemikiran cemas yang berkelana di kepala. Namun tetap saja ia masih tak mampu sekedar menenangkan diri terlihat dari wajahnya yang tertunduk memainkan jemari sendiri.
Tak lama lagi bagi Fina untuk melihati ada satu cincin jari manis sebagai tanda ikatan komitmen kuat pernikahan akan terpasang disana. Namun setelah hampir seharian ini dirinya mengikuti berbagai macam tes yang diperlukan sebelum melangkah ke tahap selanjutnya, rasa ragu menerpa diri.
Bukan ragu pada sosok Rifan yang selalu menunjukkan besar rasa padanya, namun perasaan Fina untuk melanjutkan beberapa rangkaian ujian yang tersisa. Ingin rasanya Fina mundur saja dan memilih untuk menikah dengan orang biasa setelah tahu kalau untuk menjadi calon istri abdi negara sebegini beratnya.
Namun teringat kembali bagaimana perjuangan Rifan sendiri yang rela bolak-balik Magelang-Bandung satu minggu tanpa henti hanya untuk bertemu dengan orang tuanya bermaksud untuk meminang dirinya, Fina merasa malu jika harus menyerah sedini ini.
Mana dirinya juga sudah cantik mengenakan seragam pemberian biru persit Pia Ardhya Garini dan make-up yang sudah dirinya persiapkan dari subuh.
Tapi kalau mengingat tes kebangsaan beserta tetek bengek persyaratan yang mengharuskan Fina menarik garis keturunan nenek moyangnya, jadi emak-emak pemilik kos seribu pintu jadi ide yang lebih menyenangkan.
"Udah disini aja, sayang? Katanya mau ke belakang?" celetuk Rifan kembali datang membawa satu botol minuman untuk ia sodorkan.
Rifan paham betul kalau calon istrinya itu dilanda rasa khawatir dan cemas akut nampak dari caranya menatap dengan bola mata berkaca.
Namun bukannya Fina menerima pemberian minuman darinya, gadis itu malah menarik lengannya untuk bisa ia genggam erat membuat Rifan tak memiliki pilihan selain ikut terduduk berusaha menenangkan.
"Aku takut banget, Mas Rifan."
"Gapapa, bentar aja kok. Ya?"
"Yang bener?"
"Janji. Abang yakin kalo tes nya cuma bentar. Percaya sama abang."
"Ih abang-abang apaan. Aku bukan kaum bidan yang suka di-halo dek in loh ya. Kamu tuh!" tampol Fina yang ingin sekali tertawa pada candaan Rifan namun tak bisa.
"Hahah iya-iya, takut apa coba? Kan cuma diukur tinggi badan, berat badan, kesehatan kamu aja."
"Ya aku takut aja, mas. Aku tuh takut kalo gak lolos, mana aku udah belain cuti dari kerjaan aku, aku udah belain bikin surat ini-itu, aku juga udah belain gak tidur nanya-nanya soal garis keturunan aku sampe aku tahu kalo mantan crush sewaktu SMA itu ternyata masih keluarga jauh aku."
"Iya, aku minta maaf ya kalo semua ini bikin kamu capek, bikin kamu kesel atau stres. Tapi kalo kemungkinan terburuknya kamu gak lolos background checking, aku gak serta-merta ninggalin kamu gitu aja kok. Kan kita bisa cari cara lain."
"Cara lainnya apa?"
"Kita nikah diem-diem."
"Ihhh ya gak boleh atuh. Kamu tuh udah jadi Kapten. Lagian kamu juga kenapa sih lebih milih aku daripada orang lain? Padahal masih ada perempuan lain yang lebih hebat, yang lebih cantik dari aku."
"Kan aku maunya sama kamu."
"Kamu gak tahu loh ya kalo tadi aku ditanya banyaakkk banget. Ditanya kenapa aku milih kamu yang jadi tentara yang kemungkinan nanti akan dipindah-pindah, yang prioritas pertama di hidupnya itu negara bukan keluarga apalagi istri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati, Aparatur Sipil Negara
RomanceGhea Soedartono -- harus menerima takdir dan fakta bahwa ia diarak oleh warga bersama Yudhi Irfan sebagai kepala divisi humas kantor walikota, sekaligus atasan tempatnya magang untuk dinikahkan secara paksa. Selagi dirinya berusaha untuk melupakan...