Yudhi yang baru tiba di halaman balkon atas rumah Ghea dengan membawa satu bungkus kresek berisi makanan, melihati bagaimana Ghea masih berkutat dengan laptop di hadapan yang menampilkan hasil editan liputannya siang tadi, lengkap dengan ekspresi cemberut khas.
Ghea yang menyadari laki-laki itu kembali lagi setelah mengambil barang yang ia maksud dari motor, kembali sok-sok memasang tampang cuek meski dalam hati ia merasa senang dengan perlakuan manis yang Yudhi lakukan. Sekecil apapun itu.
"Masih marah?" basa-basi Yudhi ikut terduduk di samping.
"Gak."
"Ya udah."
"Kok ya udah sih, harusnya kamu bujuk dong. Lagian yang marah kan harusnya aku, bukan kamu tauk!"
"Kalo aku yang penting kerjaan kamu selesai aja."
"Ih kamu tuh lebih mentingin kerjaan deh ya daripada perasaan aku?"
"Emang kamu mentingin perasaan aku juga?"
"Hah? Perasaan kamu? Apa sih apa?"
"Gak ada," berbalik cemberut Yudhi membuat Ghea menggeleng dan memegangi kepalanya pusing tak habis pikir.
"Ih, gak jelas banget deh kamu tuh..."
"Kerjain lagi biar cepet selesai."
"Iya-iya bawel banget deh ya ampun," pasrah Ghea pada sikap Yudhi seperti cewek PMS saja, "Eh tapi ini gimana deh kok gak bisa di klik dari tadi?"
"Yang mana?"
"Ini tadi aku coba klik tapi gak muncul—"
"Kamu tinggal hidupin lagi aja kursornya," merapat Yudhi membuat Ghea yang tak terpikir bahwa laki-laki itu akan beranjak mendekati, terdiam menyadari bagaimana wajah mereka saling berdekatan hingga bisa Ghea lihati bagaimana tampan wajah laki-laki itu meski hanya disinari oleh lampu hangat yang menggantung di sepanjang langit taman atas balkon rumahnya.
Demi apapun niat awal Ghea hanya sekedar bertanya, namun melihati betapa hitam nan indah bola mata laki-laki itu, membuat Ghea lupa bahwa langit malam di atas kepalanya juga sama rupawannya.
Hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang kemerahan membuat Ghea sedikit mempertanyakan diri sendiri. Se-adil itukah Tuhan dengan memberikan suatu bentuk ketampanan pada laki-laki menyebalkan bernama Yudhi itu?
"Udah, coba kamu gerakin lagi," sadar Yudhi sontak membuat Ghea menarik kembali kesadaran dalam diri.
"Mana? Gak bis—oh iya, bisa."
"Iya, sama-sama."
"Hih iya-iya, makasih. Orang tadi aku cuman salah pencet aja."
"Bukan salah pencet, tapi mouse-nya belum kamu idupin."
"Kan sama aja," tak ingin kalah Ghea membuat Yudhi dalam hati mengiyakan saja dan mulai membuka kotak dalam kantong yang ia bawa.
"Aku bawain kamu martabak, suka yang mana? Telur atau yang manis?"
"Aku suka yang manis, tapi aku maunya martabak manis pake—"
"Pake keju cheddar kan? Mentega nya juga sedikit?" hafal Yudhi padahal belum pernah sekalipun diri Ghea membicarakannya, atau ia lupa saja?
"Iya, makasih deh ya. Yang satunya buat papa sama Bi Inem aja gapapa kan?"
"Udah aku bawain juga buat papa. Semua ini buat kamu aja," ucap Yudhi dengan memanggil nama ayahnya dengan sebutan akrab membuat Ghea kembali teringat bahwa mereka memang sudah menjadi suami-istri.
Tapi mengapa rasanya ketika berdua dengan Yudhi, Ghea masih merasa bahwa mereka hanya sekedar dekat bagai orang pedekate saja? Masih ada rasa canggung, rasa berbunga, rasa malu, dan rasa ingin jaim.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati, Aparatur Sipil Negara
RomanceGhea Soedartono -- harus menerima takdir dan fakta bahwa ia diarak oleh warga bersama Yudhi Irfan sebagai kepala divisi humas kantor walikota, sekaligus atasan tempatnya magang untuk dinikahkan secara paksa. Selagi dirinya berusaha untuk melupakan...