Tanda Perpisahan #35

167 15 0
                                    

Masih dalam posisi yang sama, Ghea tak sedetik pun berpikir untuk melepas Fina yang masih ada dalam rengkuhannya. 

Tentang bagaimana gadis itu mau untuk menunjukkan sisi terlemahnya, membuat Ghea juga tak segan untuk membuka diri tentang segala hal yang sempat terlewat di antara mereka.

Pemandangan malam dari balkon atas rumahnya yang selalu nampak indah di mata Ghea, kini terasa berbeda karena ada satu luka tergores baik dari Fina dan Ghea yang sama-sama kehilangan.

Terlebih kala Ghea menilik pada ekspresi gadis di samping yang masih menunjukkan duka terdalam. 

Untuk memberi petuah pun rasanya begitu munafik, untuk memberi bantuan pun dunia Ghea sama hancurnya, hanya dekap peluk hangat yang bisa dirinya tawarkan meski sekedar menambal lara sementara.

Fina yang sudah tak lagi terpikir orang lain untuk bisa ia jadikan tempat bercerita, sejenak menyandarkan segala huru-hara dunianya pada satu-satunya sahabat yang bisa dirinya percaya.

Ghea tetaplah Ghea yang selalu dirinya kenali, meski Fina merasa seperti sahabat yang tak ada gunanya karena baru menceritakan semua yang telah terjadi, namun Ghea tak pernah sedikit pun menghardiknya.

"Gue minta maaf, Ghe..." lirih Fina kesekian kali mengucap hal yang sama.

"Minta maaf buat apalagi?"

"Karena gue udah bikin lo kecewa. Gue tahu satu-satunya orang yang bener-bener bisa ngelihat gue bahagia waktu sama Rifan cuma lo. Gue sadar selain gue nyakitin dia, gue juga nyakitin diri lo yang udah percaya terus sama gue."

"Gapapa kok, Fin. Itu juga udah kejadian, kan? Gue juga minta maaf kalo gue gak pernah ada waktu buat lo, buat semua cerita lo, buat semua permintaan sekecil apapun itu dari lo. Andai aja gue tahu kalo waktu kita terakhir ketemu kemarin lo berniat mau cerita, gue mungkin bisa bantu walaupun gue selalu tahu kalo lo emang gak butuh semua itu."

"Ya tapi waktu itu kan lo juga lagi kesel dan marah karena tiba-tiba lihat suami lo jalan sama pacarnya."

"Y-ya iya... tapi aneh banget gak sih kalo didengerin? Suami gue jalan sama pacarnya? Kaya..."

"Padahal lo kan yang jadi istrinya?"

"Iya, tapi gue sadar kalo dia masih punya Arin, dan gue juga masih punya Rama. Ya walaupun gue ditikung mak lampir yang udah gue anggap sahabat sendiri sih."

"Sini hape lo..." perintah Fina menarik diri tiba-tiba.

"Mau ngapain?"

"Siniin hape lo, biar gue kasih pelajaran ke mak lampir yang udah nikung lo."

"Haha buat apa? Dia kan sahabat lo juga, Fin."

"Ghe, gue gak peduli ya mau Dinda itu sahabat gue, mau dia saudara kandung gue sekalipun, kalo dia nyakitin lo, gue gak peduli resikonya. Main jambak-jambakan ayo, main santet gue gak takut juga."

"Gak inget gimana lo dulu selalu cerita banyak hal ke dia?"

"Ya... tapi kan—"

"Gak usah gapapa kok. Gue juga udah ikhlas, gue ngerasa gak rugi buat kehilangan Rama. Yang gue sesalin... itu cuma satu, gimana gue masih ngerasa kalo gue orang paling bego dengan jadi samsak antara mereka berdua. Gue yang masih aja kepikiran soal gimana cara mereka ngobrol, gimana cara mereka saling bercanda, gimana cara mereka punya hubungan diam-diam di belakang gue, itu semua bikin gue ngerasa kalo gue jadi orang yang paling gampang ditertawain."

"Gak gitu, Ghe. Lo jauh dari semua hal yang lo pikir sendiri. Tapi... ada benernya juga sih kalo sikap lo tuh kadang-kadang keliatan kaya badut gitu, jadi bikin gue dan semua orang yang kenal sama lo jadi ketawa."

Jatuh Hati, Aparatur Sipil NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang