Ketidakberdayaan Seorang Pengecut #54

165 19 2
                                    

Rifan yang sudah merasa terlambat dan tak ingin membuat teman-teman letting sekaligus anak buah barunya menunggu lebih lama, mempercepat langkah menembus banyak lautan manusia di jalan Malioboro ini.

Rifan merasa terkejut dengan banyak orang-orang yang datang kemari, entah itu karena senang berjalan-jalan meski sekedar terduduk dan mengobrol bersama. Terlebih dirinya juga terbilang sudah cukup lama tinggal di perumahan kompleks militer yang notabene sepi, hingga merasa takjub pada antusias masyarakat Jogja dalam meramaikan jalanan.

Pada setia pemuda-pemudi yang bercanda tawa, deru kendaraan terdengar bagai irama, lantunan musik-musik pengamen jalanan yang merdu, serta semua hal yang ada benar-benar terasa menjadi alasan bagi Rifan untuk bisa memulai hidup baru.

Tapi Rifan tak ingin berbohong, bahwa Jogja selalu menjadi tempat berkesan baginya. Selain karena dirinya memang menyukai suasana dengan segala atmosfer yang tercipta, kota ini juga menyimpan banyak kenangan indah, terutama pada memori sukacita yang tercipta antara dirinya dan Fina.

Di antara banyaknya manusia dengan banyak hal yang mungkin bisa dirinya dapati, dari sekian banyak hal yang terlintas di kepala, gadis itu masih menjadi satu-satunya hal yang tak lekang oleh waktu untuk menyelinap dalam perasaan.

Terlebih, Fina sedang apa ya malam ini? Apakah gadis itu baik-baik saja? Atau malah sosoknya sudah berharap pada hati lain yang mampu membuatnya begitu damai dan tenang? 

Rifan masih dibuat bertanya-tanya pada ketetapan hati gadis itu yang mengatakan bahwa Fina akan memperjuangkan dirinya kembali.

"Mohon ijin pak, saya sedang ada di Jogja, kalau memungkinkan saya akan kembali sekarang dan sampai ke Magelang sebentar lagi," ucap seorang laki-laki pada sambungan telepon, tak sengaja Rifan dengarkan kala dirinya terhenti pada antrian penjaja es krim pinggir jalan yang nampak laris manis.

Melihati sosok laki-laki yang mengenakan kemeja flannel itu mengangguk menuruti saja, seperti Rifan melihati diri sendiri saat menerima telepon dari atasannya kala dulu. 

Namun kini dirinya lah yang sering menelepon anak buahnya dengan begitu tiba-tiba apabila ia memiliki kepentingan.

Namun mengingati itu semua, membuat Rifan kembali tersadar bahwa ia sedang memiliki agenda untuk mengikuti acara pisah-sambut pimpinan Mabes Adi Sutjipto di sebuah restoran tak jauh dari sini.

Tak ingin memberi kesan buruk sebagai Mayor baru karena terlambat menghadirinya, Rifan memutuskan untuk mulai menerobos dan berdesak-desakan pada beberapa orang yang ada.

Sampai pada satu titik kala dirinya lengah, tak sengaja Rifan menubruk seseorang hingga membuat es krim yang ada di tangan siapapun sosoknya itu, tumpah ruah pada baju yang dirinya kenakan.

"Aduh maaf-maaf mas, gak sengaja—"

"Gapapa. Saya juga minta maaf—"

Mendengar nada bicaranya yang penuh kelembutan dengan getir takut, membuat Rifan yang tadinya berdecak kecil dengan batinnya mengutuk mulai berusaha memaklumi.

Namun ketika dirinya mendongak penasaran pada sosok gadis yang terasa tak asing dengan firasatnya berkata seolah semesta sedang berusaha menunjukkan sesuatu, sontak Rifan tak mampu menutupi rasa keterkejutan dalam diri mendapati sosok Fina berdiri tepat ada di hadapan.

Sepersekian detik Rifan tak mampu berpikir, tentang wajah cantiknya yang masih sama, dengan sorot mata lembut dan bola mata coklat se-indah rembulan.

Rifan merasa tak percaya, sampai degup jantung kekaguman yang selalu dirinya rasakan hanya ketika bersama Fina, akhirnya kembali terasa. Rifan tak lagi merasa jika dirinya masih larut dalam mimpi dan menolak untuk terbangun.

Jatuh Hati, Aparatur Sipil NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang