28 tahun yang lalu.
Setelah dua jam menunggu giliran yang rasanya tak akan kunjung tiba, akhirnya Irfan bisa terduduk lega di ruang kerja seorang dokter untuk menjalani tes medis di sebuah rumah sakit yang telah ditunjuk.
Sebagai bagian dari program tahunan yang harus diikuti oleh setiap karyawan PNS yang masih aktif, mau tak mau Irfan harus menyempatkan diri untuk datang kemari meski di sela kesibukannya menjadi seorang kepala divisi UPT dinas.
Namun menunggu bukanlah hal yang Irfan sukai. Dirinya mengingati benar kalimat yang sempat seorang perawat katakan padanya, bahwa Bu Sivia atau entah siapapun dokter yang akan melayani dirinya akan segera kembali ke ruangan.
Namun tak apa, Irfan juga sadar diri bahwa ini bagian dari kesalahannya telah datang terlambat karena harus mengurus beberapa hal di kantor.
Sungguh jika ini semua bukan karena kewajiban pekerjaannya, Irfan mungkin tak akan repot-repot datang kemari.
Rasa bosan yang melanda kian menjadi, membuat Irfan hanya bisa menghela nafas berat dan mengamati bagaimana bersih ruangan yang menampilkan kesan begitu feminim ini.
Beberapa peralatan dokter tertata rapi, berkas-berkas penting yang ada ditumpuk berdasarkan abjad, mengundang decak kagum dalam batin Irfan.
Tapi dirinya penasaran, mengapa tak ada satu foto dari siapapun sosok penghuni ruangan ini ya? Foto diri sendiri mungkin, atau kalau memang sosoknya sudah berkeluarga, dipajangkan potret foto keluarganya juga?
"Halo, maaf ya... udah nunggu lama?" sapa seorang perempuan dengan cara berbicaranya begitu lembut menggeser pintu, membuat Irfan menarik diri untuk bisa terduduk tegap.
"Oh, nggak, dok. Baru aja dateng tadi."
"Yang bener? Mbak Andin sebagai suster tadi bilang kalo kamu udah lama nunggu disini," blak-blakan sosoknya ikut terduduk di hadapan, membuat Irfan sedikit membatu di tempat.
Bukan apa-apa, hanya saja rambut pendek sebahu dengan wajah cantik dan senyum manis serta alis yang melekuk indah, tak Irfan kira akan menjadi perempuan paling cantik yang akan dirinya lihati hari ini.
Sivia, nama yang begitu indah untuk diucapkan dalam hati kala Irfan membaca name tag yang terpasang pada saku dada jas dokternya.
"Lupa waktu mungkin Mbak Andin nya," balas Irfan sembarang yang malah mengundang tawa dari Sivia.
"Hahaha bisa gitu ya? Ya udah, mungkin langsung aja ya. Dengan mas... Irfan Sudarno ya? Saya panggil mas atau bapak kalo gini?" mendongaknya setelah membaca berkas yang dibawa, menampilkan senyum manis yang tak pernah Irfan kira.
"Mas aja, kalo bapak nanti saya dikira bapaknya dokter Sivia lagi."
"Hahaha ya gak dong. Kalo gitu saya panggil mas aja deh. Tapi mas-nya kayanya bukan asli sini ya? Kelahiran Wajo, itu dimana?"
"Itu di—"
"Makassar ya?" tebak Sivia cepat bahkan sebelum Irfan membeberkan jawaban, "Bener gak?"
"Iya, bener."
"Hahaha betul kan..."
Sialan, padahal jelas-jelas mereka baru saja bertemu belum ada lima menit lalu, bahkan mereka juga belum saling berkenalan langsung, namun Irfan tak mampu menahan bagaimana ada satu perhatian darinya bisa perempuan itu curi dengan gampang.
Bolehkah Irfan mengatakan bahwa dirinya naksir pada pandangan pertama? Caranya berbicara dengan anggun dan tak jaim, supel, cantik dengan aura penuh perhatian, dan tentu saja pintar.
Siapa yang tidak dibuat jatuh cinta pada pandang pertama oleh sosok seperti Sivia?
"Jadi sekarang Mas Irfan mau cek kesehatan untuk laporan tahunan ASN ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati, Aparatur Sipil Negara
RomanceGhea Soedartono -- harus menerima takdir dan fakta bahwa ia diarak oleh warga bersama Yudhi Irfan sebagai kepala divisi humas kantor walikota, sekaligus atasan tempatnya magang untuk dinikahkan secara paksa. Selagi dirinya berusaha untuk melupakan...